Cerpen berjudul “Sebelum Aku Lulus” karya Garizah ini bercerita tentang perjuangan seorang siswa yang kerap berpindah sekolah karena masalah disiplin, hingga akhirnya menemukan arti kesempatan kedua menjelang kelulusan. Cerita ini menggambarkan dinamika remaja, tekanan orang tua, godaan dunia luar, serta momen perubahan yang bisa datang kapan saja.
SEBELUM AKU LULUS
By. Garizah
Bel berbunyi tiga kali, tanda masuk setelah istirahat pertama. Aku kembali ke kelas, duduk di tempat dan berusaha untuk tidak mencolok. Lima menit kemudian Bu Maya guru Bahasa Indonesia masuk ke kelas, mengucap salam dan mengabsen.
“Oiya, ada siswa baru yah, siapa Namanya?” Tanyanya setelah
menyebut nama terakhir dalam absensi.
“Fano Raka Bastian, Bu” Jawabku datar.
“Baik,
saya tulis dulu” Katanya sambil menulis.
Ini adalah sekolah ke empatku di SMA. Tiap tahun, aku ‘naik
bersyarat’,
“Kalau
ingin naik kelas, carilah sekolah lain” Begitulah solusi terbijak yang pernah
diberikan pihak sekolah padaku. Karena biasanya, tak peduli kapan, Ketika alphaku
melebihi libur Ramadan langsung dimutasi ke sekolah lain, katanya agar tidak
menular ke siswa lain. Haha…. menular gak tuh.
Yang
terparah adalah sekolahku yang terakhir sebelum ini, padahal enam bulan lagi, aku
bisa lulus. Tapi tidak ada kata maaf dari kepala sekolah. Aku dan beberapa
siswa ‘nakal’ lainnya dikeluarkan saat itu juga.
Aku
kesal, ayahku lebih kesal. Padahal ayahku donatur
tetap di sekolah itu. Menggunakan koneksinya, ayah memohon kepada kepsek
sekolah ini agar mau menerimaku. Dan dengan dalih ‘kasihan’ akhirnya aku diterima
dan bergabung di sekolah ini. Tenang saja, kali ini aku benar-benar bertekad
untuk lulus kok.
Awal aku masuk, ada cibiran dari teman kelas. Bukan
cibiran tentangku, tapi tentang putusan kepsek yang menerima siswa baru di kelas
XII. Ternyata, sebelum ini para guru menakut-nakuti siswanya agar tidak berulah
di kelas XII, karena Ketika mereka dikeluarkan dari sekolah, tidak akan ada
sekolah yang mau menerima. Dan kedatanganku disini, merupakan kebalikan dari
ancaman itu.
Lamunanku terhenti, Bu Maya membagikan lembar contoh
soal ujian.
“Saya
beri waktu 10 menit, silahkan dikerjakan dulu. Setelah itu kita bahas bersama”
Bu Maya memberi tugas. Aku membolak-balik dan menatap soal-soal itu. Huruf-hurufnya
seperti menari-nari, tapi bukan untuk ditangkap, melainkan untuk membuatku
Lelah dan yah…. seperti sihir, seketika mataku mengantuk, semakin ngantuk dan
akhirnya tertidur.
***
“Kita selalu membagi
jadwal piket untuk bersih-bersih, jadi kamu juga harus kebagian” Ari si ketua
kamar memberi penjelasan.
“Kamu mau piket hari
apa Fano?” Tanyanya kemudian.
“Hari Rabu” Kataku asal
jawab.
“Okey, berarti bareng
sama Jalu yah” Katanya sambil menoleh ke arah Jalu.
“Siap komandan” Jawab
Jalu bak seorang tentara.
Menarik sebenarnya,
sekolah ini menyiapkan asrama khusus untuk siswa tahun terakhir seperti kami.
Tujuannya jelas, supaya kami lebih fokus belajar. Namun, bagiku ini adalah
kesempatan untuk lepas dari pengawasan ayah.
***
Jam dinding menunjukkan
pukul 06.30, teman-teman sedang bersiap sekolah, Ari yang melihatku masih tidur
mendekat dan memeriksa keningku. “Tidak panas” Katanya. Aku yang mendengar itu,
mulai memutar otak.
“Kamu gak sekolah lagi Fano?” Tanya Ari sedikit berhati-hati.
“Ukhuk-ukhuk” Aku
memberi kode batuk-batuk gak jelas. “Tenggorokanku sakit” kataku pelan.
“Hmmm… baiklah, akan
aku sampaikan ke wali kelas” kata Ari yang menaruh curiga, namun kemudian
berlalu.
Setelah semua orang
pergi, aku mengangkat wajahku. Memastikan tidak ada
siapapun di kamar ini selain aku. Aku beranjak dari tempat tidurku dan bergegas
mandi, bersiap pergi.
Aku telah mengatur rute pelarian untuk bertemu Dion, teman dari sekolah
lama. Dia bukan teman sekolah sebenarnya, lebih tepat disebut teman
seperjuangan, dalam dunia game. Dunia yang terasa lebih nyata daripada kelas,
guru, soal ujian, dan aturan asrama yang membosankan itu.
***
Dion sudah menunggu di warnet langganan kami, duduk di bilik paling
pojok dengan headset menggantung di leher. Dia melirikku sekilas, lalu senyum
tipis.
“Datang juga akhirnya, bintang tamu kita,” katanya sambil menyulut rokok.
Aku duduk di sebelahnya. “Udah siap buat turnamen?” tanyanya kemudian.
“Siap,” jawabku singkat.
Dia hanya cengir sambil membuka laptopnya, memperlihatkan daftar tim yang akan
ikut turnamen. “Lumayan hadiahnya, kalau kita menang, bisa buat modal satu
semestermu tuh,” katanya sambil terkekeh.
“Oh iya, ujianmu gimana?” Dion mentatapku.
“Ah, kecil. Aku sudah biasa denger omelan. Ujung-ujungnya dibantu juga
sama ayah, PASTI”. Aku meyakinkan Dion.
Kami latihan sampai malam, sambil ngejoki juga buat pelanggan yang nggak
sabaran. Aku tenggelam di layar monitor, suara tombol, dan teriak-teriak Dion. Dunia terasa baik-baik
saja.
Sampai seseorang
membuka pintu warnet dengan suara nyaring.
Aku melirik. Dan
langsung menunduk.
Wajahnya tidak asing, Itu… Bu Maya, wali kelasku.
Dia berdiri sebentar di pintu, matanya menyapu ruangan, lalu berhenti
padaku. Pelan-pelan dia mendekat, napasnya terdengar pelan tapi berat.
“Fano,” katanya lirih. “Besok ujian. Pulang sekarang. Saya tunggu di luar.”
Seketika aku kehilangan
kata-kata. suasana warnet mendadak kikuk. Aku hanya mengangguk pelan. Dia
berbalik dan keluar, meninggalkan pintu terbuka.
Aku kembali menatap
layar. Tanganku kembali menggenggam mouse. Dan jari-jariku mulai bergerak lagi.
Aku tak menghiraukan Bu Maya. Sampai Dion menepuk pundakku cukup keras.
“Lo serius?” tanyanya.
Aku diam.
“Lo bikin guru lo nungguin lo di luar, kayak orang bego?” lanjutnya.
Aku tetap diam.
Dion mendecak. “Denger ya, Fan. Lo mau seberapa jago juga, kalau sampe lo nggak
kelarin ujian lo, gue nggak pake lo lagi. Ngerti?”
Aku melotot ke arahnya. “Apaan sih”
“NGERTI GAK?” ulangnya dengan nada lebih tegas.
Aku mendengus,
membanting headset, lalu bangkit.
“Besok ujian, bro.
Jangan bikin malu tim. Beresin dulu sekolah lo”
Aku jalan keluar. Bu
Maya masih berdiri di bawah lampu jalan, menggenggam tas kecilnya. Melihatku datang, dia cuma menghela napas. Kami jalan beriringan pulang
ke asrama. Diam.
***
Besoknya aku duduk di kelas, ujian dimulai. Kertas soal di depanku masih
terasa asing, huruf-hurufnya menari-nari di mataku. Tapi kali ini aku coba
bertahan. Kugoreskan jawabanku seadanya.
Begitu terus sampai ujian demi ujian selesai.
Hanya sesekali aku menatap kosong ke arah jendela. Kadang ingin kabur,
tapi tatapan Dion waktu itu selalu terlintas di kepala.
***
Siang itu aku duduk di pinggir lapangan, sendirian. Ujian selesai sudah.
Dunia terasa aneh. Apa yang sebenarnya aku lakukan selama ini? Lari? Sembunyi?
Nggak jelas.
Aku mencabut-cabuti rumput di bawahku, memejamkan mata sambil melamun. Tiba-tiba terdengar
teriakan dari arah lapangan.
“Fano! Ayo main! Kurang satu orang nih!”
Aku membuka mata. Ari
melambaikan tangan, diikuti teman-teman kamar yang lain. Mereka tertawa, sudah
siap main bola.
Kupandangi mereka sebentar. Rasanya… hangat.
Aku berdiri. Melangkah pelan, lalu berlari.
“Eh! Aku di depan ya!”
teriakku sambil menyusul mereka ke tengah lapangan.
END

0 Komentar