Cerpen: Cerita di Atas Laut - Malam Mencekam di Kapal Feri

Cerita di Atas Laut adalah cerpen karya Garizah yang berhasil meraih posisi ke-8 dari 300-an peserta dalam lomba cipta cerpen. Mengangkat pengalaman mencekam seorang perempuan saat berlayar seorang diri di kapal feri malam hari, kisah ini dikemas dengan gaya bercerita yang ringan, penuh dialog internal, namun menyentuh isu serius: pelecehan di ruang publik. Bagaimana tokoh utama menghadapi situasi tak terduga itu? Simak cerpen lengkapnya berikut ini.

Cerita di Atas Laut

Oleh: Garizah 

Malam semakin mencekam. Mataku mulai melemah, seolah mengajak seluruh organ untuk istirahat.

Kalau ngantuk, tidur aja, tidur. Malah berpuisi.
Heh, jangan dipotong. Aku lagi buat pembukaan cerpen.
Emang mau buat cerpen apa?
Belum tahu sih, masih mau mengalirkan ide dulu.
Emang ide bisa mengalir?
Kata guruku, ide itu datang sejalan dengan tulisan.
Baik-baik. Silakan diteruskan.

Aku mencoba memejamkan mata, berusaha tidak peduli pada sosok yang duduk di sebelahku. Yakinku hanya satu: Allah akan selalu ada, melindungiku.

 Aamiin.
Eh, siapa yang doa?
Lah, itu bukan doa, ya? Hahaha.
Hmmm…. Lanjut yah...

Aku sedang berada di kapal feri. Kali ini aku menyebrang seorang diri. Penumpang tidak terlalu ramai karena bukan musim mudik. Aku memilih tempat tidur secara acak. Karena tidak ada aturan, aku ambil posisi tempat tidur yang di pinggir, biar mudah mengakses toilet dan musala.

 Emang penting, ya?
Apanya?
Akses toilet dan musala?
Buatku penting banget.
Kenapa?

Karena aku beser dan sedang berusaha salat tepat waktu.
Oke, itu bagus... buat pencitraan.
 

Pukul sepuluh malam. Penumpang lain sudah banyak yang masuk ke dunia mimpi. Sinyal HP pun lenyap. Memang tak ada yang bisa dilakukan selain tidur.

Ngobrol, kan, bisa.
Sama siapa?
Penumpang sebelahmu?
Hmmm… dengerin kelanjutannya dulu.

Aku mencoba tidur meski terganggu oleh obrolan dan kelakar dari penumpang sebelahku. Aku berusaha cuek supaya kami sama-sama nyaman. 

Oh, jadi kamu nggak diajak ngobrol? Kasihan.
Lebih ke menutup diri sih. Lagian, obrolan mereka nggak nyambung sama aku.
Tetap aja kasihan.
Kamu bakal lebih merasa kasihan kalau dengar lanjutannya.
Oke… kita lihat. 

Sekitar pukul sebelas malam, suara mereka mulai mengecil. Tapi, ada yang aneh. Seseorang di sebelahku tiba-tiba mengipasku. Ruangan memang pengap, dan angin sepoi-sepoi itu jujur saja... nyaman. Tapi tetap saja, ada firasat buruk. Aku menolaknya dengan halus. Tapi dia tidak menggubrisku, dan tetap saja melanjutkan.

Sebentar, orang di sebelahmu itu cowok atau cewek?
Cowok.
What? Kamu lupa sebut info penting itu!
Iya… gara-gara kamu terus motong. Jadi ya, dia laki-laki, separuh baya.
Hah?! Serius? Lanjut, dong. 

Tak hanya mengipasku. Dia menawariku pijatan kaki. seketika, ada sinyal bahaya yang aku rasakan.

Hah?!
Bisa diem dulu, gak?
Oke… oke...

Tentu saja aku menolak. Tapi dia mulai menyentuh kakiku. Bulu kudukku berdiri, Merinding. Aku yang tadi sudah mengantuk, langsung terjaga penuh. Aku berpikir cepat agar bisa keluar dari situasi ini. Aku beranjak. Dia tanya aku mau ke mana. Kujawab, "Ke toilet." Pikirku, tak mungkin dia akan bertindak lebih jauh dari ini.

Itu alasan atau...?
Beneran, sih. Aku memang mau pipis.

Selesai dengan urusan hajat, kubuka pintu toilet. Ternyata... dia ada di depan pintu. Menunggu.
Dia langsung mendorongku masuk kembali. Tangannya mencengkeram lenganku dengan kuat.
“Ayo mandi bareng yuk” Katanya. Sinyal darurat dalam otakku berbunyi. Aku berusaha menahan agar ia tak berhasil menutup pintu toilet.

Wah, ini klimaksnya. Kamu beneran dalam bahaya.
Iya…

Aku berpikir cepat. Aku baru sadar... dia pakai tongkat. Entah karena kecelakaan atau apa.

Kakinya pincang?
Iya. 

Aku melihat itu sebagai peluang. Kudorong sekuat tenaga, dan dia terjatuh. Segera aku keluar dari toilet dan kembali ke tempat tidur, mengemasi barang-barangku dengan tangan gemetar.

Aku mencari tempat kosong lainnya, dan pindah ke tempat yang lebih aman. Kali ini, di sebelahku ada seorang ibu-ibu. Aku segera mengatur posisi tidur dan menutupi tubuhku dengan sarung. Aku berusaha tenang dan berdo’a minta keselamatan hingga kapal sandar.

Kenapa nggak pindah dari tadi?
Kalau tahu bakal gitu, dari awal aku nggak bakal pilih tempat itu.
Kamu terlau positif thinking. Setelahnya kamu pasti trauma.
Lumayan...
Apa kamu masih berani berlayar sendiri setelah itu?
Iya... Kejadian itu tidak mengubah niatku. Aku tetap akan berlayar. Tapi kali ini dengan lebih waspada.
Wah, kamu ke ....
Nggak, jangan bilang aku keren.
Nggak akan.

 

Posting Komentar

0 Komentar