Cerpen Rantai Takdir karya Garizah menggambarkan realitas pahit seorang perempuan bernama Paramita yang harus bertahan dalam pernikahan tanpa cinta demi kebahagiaan anak semata wayangnya. Cerita ini menyentuh tema-tema kuat seperti pernikahan tanpa cinta, pengorbanan seorang ibu, dan ketegaran perempuan menghadapi rumah tangga yang tak ideal. Dengan gaya penulisan yang emosional dan realistik, cerpen ini cocok bagi pembaca yang mencari kisah menyentuh hati dan penuh makna.
RANTAI TAKDIR
Oleh: Garizah
Aku Paramita seorang wanita biasa. Tak ada yang istimewa
dariku. Wajahku tak cantik, tubuhku pun biasa saja, dan sampai usia 27 tahun,
aku belum pernah merasakan apa itu pacaran. Cinta selalu terasa asing bagiku.
Sebuah cerita di layar kaca yang sering membuatku bertanya, "Bagaimana
rasanya dicintai?"
Setelah lulus kuliah, aku bekerja sebagai guru di Sekolah
Dasar. Gajinya tak seberapa, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Namun
setiap malam, ketika semua pekerjaan selesai, kekhawatiran tentang satu hal
selalu datang menyelinap "Kalau begini terus, apa aku akan jadi perawan
tua ya?" Aku melirik beberapa undangan yang kuterima dari teman. Aku
menghela nafas dan menyerahkan sepenuhnya takdirku kepada sang penentu takdir.
***
Suatu sore, di ruang tamu rumahku, aku mendapati seorang pria
duduk bersama kedua orangtuaku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Sagara.
Usianya jauh di atasku. Garis-garis usia tampak jelas di wajahnya. Meski
begitu, tatapannya tegas dan suaranya berat. Aku dipanggil ibu dan diminta
duduk dikursi sebelahnya.
“Saya ingin melamar Paramita,” ucapnya tiba-tiba.
Aku tercengang. Aku bahkan belum pernah bertemu pria ini
sebelumnya.
“Dia pria yang baik, Mita,” suara Ibu menyela. “Kamu sudah
cukup umur. Kalau ditunda-tunda, nanti kamu menyesal sendiri.”
Aku menunduk, merenung. Dalam hati kecilku, ada ketakutan
yang tak bisa kupungkiri. Aku tak ingin berakhir sendirian. Tapi, apakah ia
memang yang terbaik untukku? Memangnya harus dia? Kira-kira begitulah yang
perputar diotakku saat itu, seperti ada rasa kecewa pada takdirku sendiri yang
mengirimkan sosok pria matang yang bahkan tidak pernah aku kenal sebelumnya
sebagai jodohku. Namun, hatiku jauh lebih takut jika aku menolaknya, apakah
akan ada lagi pria yang datang melamarku? Aku harus tau diri. Maka, dengan
suara bergetar, aku menjawab, “Saya terima.”
Dia pria yang usianya 17 tahun diatasku. Tentu ini bukan hal
yang terlihat bagus. Namun, aku tetap berpikir positif tentang masa depanku.
Terlebih lagi orangtuaku mendukung. Aku rasa itu sudah lebih dari cukup. Aku
tak pernah jatuh cinta pada Sagara, tapi kupikir mungkin cinta akan tumbuh
seiring waktu.
***
Dua tahun setelah pernikahan, aku menjalani hari-hariku
sebagai seorang istri. Sebisa mungkin melayani suami sesuai tuntunan agama.
Walau tidak didasari oleh cinta, hubungan tetap harus dilakukan untuk
menggugurkan kewajiban satu sama lain. Dengan tanpa diduga, Tuhan memberiku
hadiah paling indah seorang anak perempuan cantik yang kunamai Farah Garamita.
Saat pertama kali menggendongnya, aku tahu ia akan menjadi alasan hidupku.
Senyumnya, tangisnya, bahkan genggaman tangannya yang kecil terasa seperti obat
dari setiap rasa lelahku.
“Ibu sayang kamu,” bisikku di telinga kecilnya.
Sayangnya, kehidupan rumah tanggaku tak seindah kehadiran Farah.
Sejak awal, Sagara memang pria yang jauh berbeda denganku. Ia kolot, tak peka,
dan pelit. Dia sosok yang jarang bicara dan asik dengan dunianya sendiri.
Sering kali saat aku mencoba berbagi cerita, ia malah membatu. Sejak itu, aku
memilih lebih banyak diam. Hal yang membuatku tak habis pikir, nafkah yang ia
berikan hanya cukup untuk dirinya sendiri. Sisanya? Aku yang mencukupi
kebutuhan rumah tangga. Aku yang membeli susu untuk Farah, membayar sekolahnya,
dan memenuhi keperluan sehari-hari. Padahal ia bisa memberiku lebih. Namun, ia
memilih menyimpan uangnya sendiri.
Pernah suatu kali, ketika aku memberanikan diri untuk bicara,
jawabannya begitu menyakitkan.
“Gara… apa uang ini nggak bisa ditambah sedikit? Farah butuh
banyak keperluan,” kataku hati-hati.
Sagara mendongak dari piringnya, tanpa sedikit pun
menunjukkan rasa bersalah. “Cukup itu. Kamu kerja, ‘kan? Masa nggak bisa
nambah-nambah?”
Aku tercekat. Tak ada gunanya melanjutkan perdebatan. Aku
memilih diam. Mungkin baginya, aku hanyalah perempuan yang seharusnya tahu
diri.
***
Tujuh tahun pernikahan, aku semakin lelah. Bukan hanya
tubuhku, tapi juga jiwaku. Sagara tak pernah berubah. Ia masih sama, sibuk
dengan dirinya sendiri, tak peduli apa yang kurasakan. Di sisi lain, aku terus
bertahan. Bukan karena aku mencintainya, melainkan karena aku mencintai Farah.
Farah, anakku yang manis dan penyayang, selalu tahu kapan
ibunya sedang terluka.
“Ibu capek, ya?” tanyanya suatu malam sambil menyandarkan
kepalanya di pangkuanku.
Aku mengelus rambutnya, mencoba tersenyum. “Ibu nggak
apa-apa, sayang. Kamu jangan khawatir.”
“Ibu selalu bohong,” ucapnya pelan. Matanya yang bening
menatapku tajam. “Farah janji nanti jadi orang sukses. Biar bisa jagain Ibu.”
Hatiku hancur mendengar itu. Mengapa anak sekecil ini harus
memikirkan ibunya? Seharusnya ia hanya bermain dan menikmati masa kecilnya.
Tapi di tengah segala keterpurukan ini, hanya Farah yang membuatku bertahan.
***
Sejak kecil, Farah memang anak yang peka. Kadang, aku heran
bagaimana bisa ia menangkap perasaanku, meski aku selalu berusaha
menyembunyikannya. Tapi pada suatu malam, sesuatu yang tak pernah kuduga keluar
dari mulut kecilnya.
Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memeriksa tumpukan buku
tugas murid-muridku. Farah, yang baru selesai menonton youtube, tiba-tiba
datang menghampiriku. Ia memelukku dari samping, wajah mungilnya bersandar di
bahuku.
“Ibu…” panggilnya lembut.
Aku menoleh. “Iya, sayang?”
Farah diam sejenak, lalu dengan nada polos, ia berkata, “Ibu…
kok nggak putus aja sama Ayah?”
Tanganku yang tengah memegang pensil terhenti seketika. Aku
menoleh dengan kaget, menatap wajah kecilnya yang tampak serius. “Farah bilang
apa tadi?” tanyaku pelan, memastikan aku tidak salah dengar.
Farah menatapku dengan mata beningnya yang selalu jujur.
“Putus aja, Bu. Kan nggak apa-apa kalau Ibu sama Ayah nggak bareng-bareng
lagi.”
Aku tercekat, berusaha mencari jawaban. Kata “putus”
terdengar begitu ringan dari bibirnya. Seolah-olah itu adalah sesuatu yang
sederhana. Mungkin efek dari tontonan kartun yang sering ia lihat tentang
karakter yang bertengkar lalu “putus” begitu saja.
Aku menghela napas, berusaha menenangkan hatiku. “Farah,
nggak boleh ngomong gitu. Ibu sama Ayah nggak bisa ‘putus’ seperti yang Farah
lihat di youtube”
“Tapi, Ibu nggak bahagia, kan?” suaranya pelan, tapi
menghunjam ke dalam hatiku.
Aku terdiam. Apa yang sebenarnya ia lihat? Seberapa dalam
luka yang kusimpan tanpa sadar terekam di mata kecilnya? Aku mengelus
rambutnya, berusaha tersenyum. “Farah sayang, Ibu nggak apa-apa. Ibu baik-baik
saja.”
Farah menggeleng kecil. “Tapi Ayah nggak pernah bikin Ibu
senyum. Ayah juga jarang main sama Farah.”
Aku merasakan hatiku seperti dirobek perlahan. Kata-kata itu
datang dari anakku. Anak yang baru berusia tujuh tahun, tapi sudah bisa melihat
semua ketidakberesan dalam keluarga kecil kami. Aku mendekapnya erat, seolah
ingin melindunginya dari segala kenyataan pahit.
“Farah nggak perlu mikirin itu, ya. Farah cuma perlu jadi
anak baik dan pintar. Biar nanti Ibu nggak capek lagi.”
“Tapi Farah nggak mau Ibu sedih…” bisiknya sambil memejamkan
mata di pelukanku.
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Kata “putus” tadi masih
bergema di kepalaku. Seberapa besar luka yang kututup-tutupi, hingga anakku
sendiri berani bicara seperti itu? Tapi aku tak mungkin menjelaskan tentang
pernikahan pada anak sekecil Farah. Baginya, kebahagiaan adalah tentang melihat
orangtuanya tersenyum.
Aku menghela napas dalam-dalam. “Farah sayang, Ibu janji akan
selalu kuat. Demi Farah.”
Aku memeluknya lebih erat, sambil menatap sudut ruangan
kosong yang gelap. Di balik kepolosan kata “putus” yang Farah ucapkan, aku
tahu, ia hanya ingin melihat ibunya bahagia. Tapi aku memilih diam. Aku memilih
bertahan. Demi Farah. Demi kebahagiaannya, meski mungkin kebahagiaan itu harus
kutahan sendirian.
Malam itu, ketika Farah sudah tertidur pulas di kamarnya, aku
duduk sendiri di tepi tempat tidur. Kata-katanya masih berputar di kepalaku.
"Ibu… kok nggak putus aja sama Ayah?"
Aku mendongak, memandang langit-langit kamar. “Tuhan,
seberapa dalam lagi aku harus menyimpan semua ini?” bisikku dalam hati.
Aku tahu Farah hanya mengulang apa yang ia dengar dari kartun
yang ia lihat. Tapi yang ia katakan bukan sekadar candaan anak kecil.
Kata-katanya adalah refleksi dari apa yang selama ini ia lihat ibunya yang
jarang tersenyum, ayahnya yang tak peduli.
Aku menatap wajah Farah yang tidur dengan tenang, dan aku
tahu satu hal pasti aku akan terus bertahan, entah sampai kapan. Aku hanya
ingin melihat anakku tumbuh bahagia. Jika aku harus mengorbankan perasaanku,
biarlah.
Farah adalah alasanku untuk tetap berjalan. Cukup dia yang
bahagia. Itu sudah lebih dari cukup.
Di hari-hari berikutnya, kata-kata itu tak pernah Farah
ulangi lagi. Mungkin ia lupa, atau mungkin ia hanya mengerti bahwa ibunya tak
ingin membicarakan hal itu. Tapi bagiku, kalimat kecilnya adalah pengingat
bahwa ada sesuatu yang harus kujaga, senyum anakku.
Aku memilih bertahan. Aku memilih diam. Sampai kapan pun, aku
akan menjadi tembok kuat yang melindungi Farah dari kenyataan ini. Walau di
balik itu, ada hatiku yang rapuh dan lelah menahan segalanya.
0 Komentar