Sebuah memoar fiksi kisah persahabatan yang tumbuh tak terduga antara tokoh “aku”, seorang gadis pendiam penghuni asrama lama, dengan Auliyah, gadis baru dari kampus lain yang sempat ingin menyerah karena kesepian. Hanya karena sapaan “Hai” yang dilontarkan secara spontan, Auliyah memutuskan bertahan. Simak kisah persahabatan mereka yuk.
Bab 1: Gadis di Balik Kaca
Tahun itu, aku sudah cukup lama menjadi penghuni
asrama. Bangunan dua lantai dengan lantai keramik motif kuno, lemari tua, dan
suara pengajian yang bergema dari musholla kecil. Kehidupan di sana berjalan
seperti arus sungai penuh bebunyian, kadang deras, kadang tenang. Dan aku,
seperti batu di dasar, lebih sering diam dan memperhatikan.
Lalu datanglah dia.
Gadis dari kampus sebelah. Aku tidak ingat kapan
tepatnya ia mulai tinggal di asrama, hanya kabar samar yang menyebutkan
namanya. Asrama ini memang menerima santri dari kampus mana saja. Tapi
mayoritas kami berasal dari kampus A, sedangkan dia dari kampus B. Dia
sendirian. Ruangannya diisi dengan orang-orang yang sudah lebih dulu membangun
lingkaran. Dan dia tak punya siapa-siapa di dalamnya.
Waktu berjalan dan desas-desus mulai terdengar. Dia tak betah. Tak punya
teman. Kamar yang tak ramah. Ia ingin pindah.
Lalu tibalah hari itu hari kepergiannya yang nyaris terjadi.
Dari arah belakang, kulihat sebuah mobil berhenti di
pelataran Masjid kampus. Dia duduk di dalam, di kursi penumpang. Wajahnya
tertunduk, dan aku bisa menebak rasa itu. Campuran lega, letih, dan sedikit
putus asa yang akhirnya dipeluk oleh keputusan untuk pulang.
Saat berjalan melewati mobil itu, aku spontan menyapanya.
"Hai Auliyah."
Cuma itu.
Satu kata pendek yang bahkan tidak kutujukan dengan suara penuh harap.
Dia tidak menjawab. Hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke
depan. Aku berlalu, tak merasa aneh. Mungkin dia lelah. Mungkin memang tak
ingin menjawab. Aku pun melupakannya.
Yang tak kuketahui di dalam mobil itu, ayahnya menyaksikan semua.
Dan beberapa menit kemudian, keputusan berubah. Gadis itu tidak jadi
pindah. Ayahnya berkata, “Masih ada yang mau menyapa kamu. Bertahanlah, coba
lagi. Mungkin kau belum benar-benar mengenal semua orang di sini.”
Dan begitu saja… segalanya kembali ke titik awal. Tapi tidak benar-benar
sama.
Setelah kejadian itu, seorang adik tingkat
menyampaikan pesan aneh:
"Kak, katanya… disuruh ke kamar Cemara."
Aku mengerutkan kening. Kamar Cemara adalah kamar pojok. Penghuninya…
gadis itu.
Dengan langkah ragu, aku ke sana. Dan dia membukakan pintu sendiri.
Wajahnya sedikit gugup. Tapi yang mengejutkanku dia memberiku sekotak
ayam goreng. Hangat, lengkap dengan sausnya.
"Ini... buat kamu," katanya pelan.
Aku nyaris tak tahu harus berkata apa. Kami belum pernah berbicara. Tidak
saling kenal. Aku tak merasa pernah berbuat apa-apa untuk layak menerima
kebaikan ini. Kukira itu semacam sedekah. Tapi ada sesuatu di matanya yang
lain. Sebuah rasa terima kasih yang dalam tapi tak terucap.
Dan hari-hari selanjutnya pun berubah.
Sedikit demi sedikit, dunia kami yang tadinya
berjauhan mulai menyempit. Tidak dengan percakapan panjang. Tapi dengan
kehadiran yang makin terasa. Saling sapa di lorong. Duduk bersebelahan saat tak
sengaja bertemu. Dan rasa penasaran kecil yang tumbuh pelan-pelan seperti bunga
liar di antara retakan tembok asrama.
Yang tak kusadari saat itu adalah:
aku telah menjadi alasan ia bertahan.
Dan ia… mulai menjadi alasan mengapa hatiku tidak ingin semua ini
berakhir cepat.
Bab 2: Balas Budi yang Tak Selesai
Setelah ayam goreng itu, aku mencoba bersikap lebih
terbuka padanya. Walau jujur, aku tetap merasa canggung. Bukannya tidak ingin
dekat, tapi entah kenapa, aku selalu merasa bahwa dia terlalu bersinar untuk
kusapa lama-lama. Auliyah... namanya saja sudah terdengar lembut dan penuh
arti. Dan wajahnya... ah, wajah yang kalau ada di sinetron, pasti jadi tokoh
utama yang disukai semua orang.
Sedangkan aku?
Aku seperti kentang. Serius. Tidak ada yang istimewa selain mungkin
sikapku yang… yah, agak kaku. Aku lebih nyaman menjadi teman baik dari
kejauhan. Menatap diam-diam lalu tersenyum sendiri, seperti penonton rahasia
dari hidup orang lain.
Tapi sepertinya Auliyah tidak suka jadi tontonan dari jauh.
Dia malah mendekat.
Waktu itu aku sedang bersiap pulang karena kampus A sedang libur. Tapi
ada masalah administrasi untuk adikku yang kuliah di kampus B kampus tempat Auliyah
belajar. Orang tua telah mempercayakan adik padaku, jadi aku tak mungkin
meninggalkannya begitu saja. Mau tak mau, aku harus minta bantuan. Dan entah
kenapa, satu-satunya nama yang muncul di kepala hanyalah namanya.
Aku mencari Auliyah yang sulit ditemui karna jadwal kuliahnya yang padat.
Hingga suatu sore saat aku menerung di teras depan kamar C , ia datang
menghampiriku.
“Katanya kamu nyari aku? Ada apa?” Tanyanya.
“Maaf, Auliyah… aku ganggu nggak? Boleh minta tolong…?”
Aku menceritakan permasalahanku dan yang membuatku heran adalah, dia
menjawab dengan ringan.
“Boleh, kirim saja datanya. Nanti aku bantu urus.”
Seketika aku terdiam. Dia tidak hanya bersedia membantu, tapi langsung
menindaklanjuti. Ia bahkan bersedia bicara pada ayahku untuk menjelaskan soal
pembayaran. Bantuannya tidak setengah-setengah. Ia benar-benar turun tangan
seolah masalah itu adalah miliknya sendiri.
Rasanya aku… kecil. Sekaligus sangat beruntung.
Sejak hari itu, aku berniat membalas budi. Dengan
menjadi teman yang baik, atau setidaknya, tidak lagi menyimpan jarak. Tapi
bahkan itu terasa menantang. Karena setiap kali aku mendekat, ada suara kecil
dalam kepala yang berkata, “Apa kamu pantas? Lihat dia… lihat dirimu…”
Namun, Auliyah…
Dia seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Alih-alih menjauh, dia malah mendekat.
Kalau aku mundur, dia maju.
Kalau aku menunduk, dia bicara duluan.
Kadang gayanya manja, kadang penuh rajukan. Tapi semuanya membuat dinding
pertahananku runtuh satu per satu. Kami mulai sering mengobrol, bercanda,
bahkan bertengkar, bukan yang menyakitkan, tapi seperti dua anak kecil yang
berebut perhatian.
Dan meski dunia luar mulai berbisik, menilai, menyindir, bahkan
menghakimi, aku tetap di sisinya. Atau mungkin… karena itu aku makin tak ingin
jauh.
Tapi aku takut.
Takut kalau Auliyah sebenarnya tidak nyaman dengan semua kedekatan ini.
Bahwa ia hanya terlalu baik untuk menjauh. Maka aku mencoba jaga jarak
sewajarnya. Aku ingin mengatur rasa ini tetap pada batas “wajar”. Tapi entah
kenapa, kami tetap saling menarik.
Kami mulai saling bergantung dalam diam.
Dan aku mulai belajar bahwa membalas budi… kadang berakhir jadi sesuatu yang lebih dalam dari niat awalnya.
Bab 3: Nama yang Tiba-Tiba
Menyerang
Kedekatan kami makin terasa berbeda. Dari luar mungkin
tampak seperti dua orang sahabat yang saling peduli. Tapi aku tahu ada sesuatu
di dalamnya yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata “teman”.
Tapi hidup tak pernah benar-benar membiarkan sesuatu berjalan terlalu
mulus.
Suatu malam, aku menerima pesan aneh di Facebook.
Isinya mengejutkan. Nada bicara penuh emosi, seperti sedang meledak.
"Semua ini gara-gara kamu! Auliyah berubah. Dia menjauh karena
kamu!"
Aku membaca pesan itu berulang kali. Jantungku berdegup lebih cepat.
Aku tidak mengenal siapa pengirimnya secara langsung, tapi dari
kata-katanya, aku bisa menebak itu mantan pacar Auliyah.
Tanganku gemetar. Aku tidak tahu harus merasa bangga
atau bersalah. Tapi yang paling jelas, aku bingung. Karena sepanjang yang aku
tahu, aku tak pernah masuk ke dalam urusan pribadi Auliyah apalagi hubungan
percintaannya.
Keesokan harinya, aku bertanya pada Auliyah.
“Ada apa ini? Kenapa aku yang dilabrak?”
Wajahnya langsung berubah. Sejenak dia diam, lalu menjawab singkat.
“Udah, jangan ditanggapi. Nggak penting.”
“Tapi namaku diseret! Aku bahkan gak tau kalian putus!”
Aku mencoba tenang, tapi nada suaraku meninggi.
Dan saat itu…
Untuk pertama kalinya, Auliyah marah padaku.
“Kalau aku bilang jangan ditanggapi, ya jangan! Kenapa kamu malah
ladenin?!”
Aku terdiam.
Ada jeda panjang setelah itu. Bukan karena aku tak mau membalas, tapi
karena aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
Malam itu, aku merenung lama.
Mungkin aku terlalu masuk ke hidupnya. Mungkin benar kata orang-orang aku
dan Auliyah terlalu dekat. Tapi sejak kapan perhatian jadi sesuatu yang salah?
Sejak kapan menemani jadi dianggap merebut?
Tapi yang paling menyakitkan… bukan tuduhan orang luar.
Melainkan saat Auliyah sendiri menjauh karena satu hal yang tak
kumengerti.
Kami tak berbicara selama beberapa hari.
Rasanya seperti kehilangan napas yang selama ini selalu mengalir
diam-diam lewat keberadaannya. Asrama jadi sepi. Langkahku terasa kosong, dan
senyumku tak lagi lengkap.
Namun kemudian, tanpa alasan yang jelas, dia datang lagi. Seperti badai
yang tak pernah minta izin untuk pergi atau datang.
Dia duduk di sebelahku saat aku sedang menyapu halaman.
“Maaf, ya…,” katanya lirih.
“Aku cuma gak siap kamu tahu semuanya…”
Aku berhenti menyapu. Tapi tetap menunduk, pura-pura sibuk.
Auliyah menambahkan, “Aku putus sama dia karena aku gak nyaman
terus-terusan dikekang. Bukan karena kamu. Tapi… mungkin kamu memang jadi
cermin buatku. Aku sadar, kenyamanan itu bisa datang dari arah yang gak
kuduga.”
Aku menoleh pelan. Wajahnya serius. Tapi matanya menyimpan hal yang tidak
ia katakan.
Dan aku memilih tidak bertanya lebih jauh. Karena dalam diam kami, aku sudah cukup tahu rasa tidak selalu butuh pengakuan. Kadang cukup saling tahu.
Bab 4: Perhatian yang Tak Pernah
Diminta
Setelah pertengkaran itu, hubungan kami tidak langsung
kembali seperti semula. Tapi seperti luka yang sembuh perlahan, perlakuan kami
satu sama lain kembali melembut, bahkan mungkin lebih jujur. Tidak ada lagi
topeng ‘biasa saja’ atau berpura-pura tak peduli. Kami hanya… saling tahu.
Auliyah bukan tipe yang suka menunjukkan kelemahan.
Bahkan ketika dia sakit, dia tetap terlihat tangguh. Tapi aku tahu, dia hanya
tak mau merepotkan.
Waktu itu, dia tiba-tiba demam tinggi. Tidak ada yang benar-benar tahu
karena dia tetap ke kampus seperti biasa. Tapi sorenya, aku menemukan dia di
kamar, terbaring, wajahnya pucat.
“Kenapa gak bilang siapa-siapa?” tanyaku sambil menyiapkan kompres air
hangat.
“Aku masih bisa sendiri,” jawabnya pelan.
Itulah jawabannya setiap kali ia sedang kesusahan.
Aku tak membalas. Aku hanya duduk di sisinya, memastikan makanannya ada,
obatnya diminum, dan tubuhnya tidak menggigil.
Hari-hari seperti itu membuatku sadar… perhatian yang paling tulus adalah
perhatian yang tak diumumkan.
Begitu juga saat dia lembur sendirian menyiapkan acara
di asrama. Entah kemana pengurus lainnya, aku tahu dia akan begadang. Bukan
karena dia bilang, tapi karena aku hafal geraknya. Jadi aku ikut menemani.
Bukan untuk membantu, tapi sekadar jadi suara lain yang membuat ruangan itu
tidak terlalu sepi.
Kadang aku bertanya dan sedikit mengganggunya,
sementara dia masih sibuk menggambar, memotong dan menempel sambil mengoceh
dengan nasehat-nasehat kehidupan seperti seorang ibu yang menasehati anak
bandelnya.
Kedekatan kami menjadi semacam kebiasaan. Tidak perlu banyak bicara, tapi
tahu apa yang harus dilakukan untuk satu sama lain.
Dan seperti itulah malam-malam kami lewatkan. Dalam diam yang nyaman.
Dalam lelah yang dibagi.
Kami juga saling mengisi hari-hari dengan hal kecil.
Pernah, saat kegiatan pondok sudah hampir selesai dia mengajak keluar dan
jalan-jalan. Diperjalanan di bercerita bahwa dia kehilangan ponselnya, hanya
aku yang tahu. Dia tidak panik di depan orang lain. Dia terus berjalan dengan
harapan bisa menemukan ponselnya yang itu tidak mungkin.
“Ikut aku yuk, kita cari cemilan gratis.”
Dan kami pergi ke kampus A, masuk ke acara mahasiswa hanya karena tahu
bakal dapat konsumsi. Bukan soal makanannya, tapi soal bagaimana cara
menenangkan seseorang tanpa membuatnya merasa lemah.
Auliyah... dia jarang minta sesuatu secara langsung. Tapi setiap kali dia butuh, entah kenapa langkahku selalu mengarah padanya.
Bab 5: Kata yang Tak Terucap
Waktu berlalu begitu saja. Saat kami seangkatan sibuk
dengan skripsinya masing-masing, dengan tiba-tiba Auliyah berniat pindah dengan
alasan yang tidak diketahui. Semua desas-desus tentang alasan pindahnya telah
kudengar. Namun tidak satupun yang kupercaya. Karna aku tau Auliyah bukan orang
akan lari begitu saja. Namun, membayangkan perpisahan yang belum waktunya
membuatku merasa mual dan tidak nyaman. Dan seperti biasa, aku tidak bertanya,
namun menunggu penjelasan darinya.
Aku tahu, saat itu benar-benar akan datang, hari
ketika dia akan benar-benar pergi, tidak hanya dari bangunan asrama... tapi
dari keseharian yang selama ini kugenggam diam-diam. Kabar itu datang seperti
biasanya, samar dan tidak dramatis. Dia hanya bilang lewat pesan singkat bahwa
dia akan pindah dari asrama, namun ia tidak mengatakan alasannya dan Dimana ia
akan tinggal setelah ini.
Awalnya aku ingin bersikap biasa saja. Tapi nyatanya
tidak bisa. Ada sesuatu yang menyesak dan belum selesai. Sesuatu yang... entah
apa namanya. Tapi membuatku tak bisa duduk tenang ketika tahu hari itu dia akan
pergi.
Aku mengejar mobil yang katanya akan menjemputnya.
Ternyata benar. Di depan pondok, ayahnya sudah menunggu. Auliyah tengah sibuk
menurunkan barang, sementara aku berdiri di balik pagar, ragu-ragu.
Namun saat ayahnya berbalik, aku melangkah cepat dan membungkuk pelan.
“Maaf Pak, kalau selama ini Auliyah kurang nyaman tinggal di sini…”
Ayahnya hanya tersenyum. “Justru sebaliknya. Dia bertahan di sini karena
kamu.”
Aku tertegun.
Lalu datanglah Auliyah, membawa tas terakhirnya. Melihatku, dia mendekat,
lalu berkata pelan, “Waktu itu aku udah siap pindah. Tapi karena kamu nyapa aku
dari balik mobil... Ayah pikir aku masih bisa punya teman di sini. Jadi aku
bertahan.”
Aku tertawa pelan. “Aku pikir kamu gak denger sapaanku waktu itu.”
“Aku denger. Aku cuma... malu.”
Ada jeda hening yang panjang. Kami tidak berpelukan, tidak menangis.
Hanya saling pandang dan menyimpan sesuatu yang seharusnya mungkin bisa
diucapkan kalau waktu dan keadaan memihak.
“Aku pamit ya,” katanya.
Aku hanya mengangguk.
Ketika mobil itu pergi, aku berdiri cukup lama. Seperti ingin memastikan
dia masih bisa kulihat, walau hanya bayangannya di kaca belakang.
Dan setelah itu… asrama benar-benar terasa kosong. Tapi bukan karena Auliyah
tak ada. Tapi karena aku tahu, tak akan ada lagi yang seperti dia.
Bab 6: Yang Pintar, Yang Membuatku Betah Bertanya
Auliyah keluar dari asrama menjelang akhir masa
kuliahnya. Katanya, ia butuh tempat yang lebih tenang untuk menyelesaikan
skripsi. Dan aku tak mencegahnya, meski sebenarnya... aku kehilangan.
Namun asrama tak benar-benar kehilangan dirinya.
Karena setiap beberapa hari sekali, dia masih datang bukan sebagai santri, tapi
sebagai ustadzah. Dia mengajar tajwid di malam-malam tertentu. Duduk bersila di
serambi dengan mushaf di tangan, dan para santri menyimak. Termasuk aku.
Bukan karena aku tak bisa membaca, tapi karena aku
suka memperhatikan caranya mengajar. Lugas, tegas, tapi tak menggurui. Ketika
ada yang keliru, ia membetulkan dengan suara lembut. Ketika ada yang bingung,
ia menjelaskan dengan telaten. Dan kalau aku jujur pada diriku sendiri,
saat-saat itulah aku jatuh lagi. Lagi dan lagi.
Aku memang menyukainya bukan cuma karena wajahnya yang
manis atau sikapnya yang hangat, tapi karena dia cerdas. Dan aku selalu punya
kelemahan untuk orang pintar. Aku sering bertanya padanya soal pelajaran agama.
Tentang tafsir, fiqih, kadang soal hadis yang rumit. Auliyah menjawab dengan
sabar. Bahkan kalau dia tidak tahu, dia akan mencarikan jawabannya dan
mengirimkannya kemudian. Sikap itu… membuatku betah. Betah untuk tetap jadi
muridnya, walaupun statusnya teman dan kita sebaya.
“Kenapa kamu selalu nanya ke aku sih? Kan banyak ustadzah lain,” katanya
suatu malam setelah pengajian.
“Karena kamu ngerti caraku mikir,” jawabku jujur, sambil menatap mushaf
yang belum kututup.
Dia tertawa. “Kalau gitu, kamu gak boleh berhenti nanya. Biar aku gak
lupa ilmu-ilmuku.”
Dan kami tertawa bersama.
Malam-malam seperti itu membuat asrama terasa penuh meski satu
penghuninya telah pergi. Auliyah memang tak lagi tinggal di situ, tapi
jejaknya… masih ada. Di dinding mushalla, di lantai serambi, di udara tempat
kami biasa berbincang.
Kadang aku berpikir, kalau saja dia tahu betapa besarnya pengaruhnya
terhadapku. Tapi mungkin memang tak perlu dia tahu. Yang penting, dia tetap
datang. Dan aku tetap bisa belajar darinya tentang ilmu, tentang sikap, dan
tentang diam-diam mencintai seseorang dari balik tanya.
Bab 7: Malam yang Tak Direncanakan
Hari-hari di asrama mulai terasa penuh batas. Setelah berhasil
menyeleaikan siding skripsi, kini Aku dan teman seangkatan sibuk menyusun
berkas wisuda, saat penerimaan santri baru, secara teknis kami dianggap lulus
dari asrama dan otomotis sudah tidak kamar hunian lagi. Tapi beruntungnya,
disediakan satu kamar yang luas untuk hunian kami sebelum wisudah dan Kembali
ketanah lahir.
Sikap cerita wisudah setelah selasai dan kami semua melanjutkan hidup
masing-masing sesuai rencana. Ada yang kembali ke setelan awal di tanah
kelahiran, ada yang melanjutkan Pendidikan ke S2. Ada pula yang langsung
bekerja.
Aku sendiri, berencana akan mengabdikan diri ditanah kelahiran sebagai
pengajar honorer.
Malam sebelum aku benar-benar pulang ke tanah lahir.
Aku mendengar Auliyah berkunjung kepondok. Aku menemuinya untuk sekedar
memberi tahu bahwa aku akan pulang besok.
“Besok aku balik kampung,” kataku saat bertemu dengannya.
“Oh…” katanya singkat, lalu pergi begitu saja.
Aku tak berharap banyak. Toh semua orang sibuk dengan hidupnya
masing-masing. Aku juga harus belajar melepaskan.
Tapi ternyata, malam itu belum selesai.
Sekitar pukul delapan malam, pintu kamar diketuk. Dan Auliyah berdiri
dibaliknya.
“Keluar yuk. Temenin aku nganter barang,” katanya sambil membuka helm.
Aku ragu. Tapi akhirnya aku ikut.
Di depan pondok, ada satu kardus di atas motor Beat-nya. Katanya berisi
keripik, pesanan temannya.
“Pegangin ya,” ujarnya.
Tapi begitu di motor, aku hanya duduk tanpa menyentuh kardus itu.
Ternyata dia meletakkannya di bagasi depan.
Kami melaju menyusuri jalan Malang yang lembab. Angin dingin menyelinap lewat jaket, tapi suasananya tenang. Entah kenapa, aku merasa tidak ingin malam ini cepat selesai.
Setelah barang diantar, aku pikir kami akan langsung pulang. Tapi tidak.
Dia melajukan motor ke arah yang tak kukenal.
“Ke mana?” tanyaku sambil memeluk tubuhku sendiri yang menggigil.
“Bentar aja. Aku pengen ngajak kamu ke tempat yang belum pernah kamu
kunjungi.”
Kami sampai di Alun-Alun Kota Batu. Lampu-lampu menyala lembut, ramai
tapi tidak bising.
Dia mengajakku duduk di pojok taman dan membeli dua porsi ketan salju.
“Aku belum pernah ke sini,” kataku sambil menyeruput ketan hangat
bercampur susu dan kelapa parut.
“Aku tahu,” katanya, tersenyum.
Itu bukan tempat romantis. Tidak ada musik, tidak ada bintang di langit
yang mendukung suasana. Tapi entah kenapa, malam itu terasa utuh. Seolah
seluruh perpisahan esok hari... dimampatkan dalam satu sendok ketan, dalam satu
helaan napas yang enggan selesai.
Kami tidak membicarakan apapun yang menyedihkan. Tidak juga soal
kepergian. Hanya berbicara soal makanan, kota, masa kecil topik-topik ringan
yang dijadikan pembalut luka perpisahan.
Saat kembali ke asrama, aku menatap punggungnya yang menyetir di depanku.
Dan aku tahu... akan sulit menemukan sosok seperti dia lagi.
Esok paginya, kami tak sempat benar-benar berpamitan. Tapi ada sesuatu yang tersisa dari malam itu. Sesuatu yang tak perlu dijelaskan. Karena bukan soal kata-kata. Tapi soal keberadaan.
Bab 8: Yang Tetap Ada
Tahun demi tahun berlalu. Aku pulang ke tanah lahirku,
dan Auliyah juga kembali ke kotanya. Kami menjalani hidup masing-masing dan
berkeluarga, menjadi ibu, menjadi dewasa. Tapi ada satu hal yang tak berubah,
ruang kecil tempat kami masih bisa saling bercerita.
Kadang saat anak-anak kami tidur, kami saling
berkabar. Lewat pesan yang diketik pelan. Kadang pesan ungkapan rinduku hanya
dibaca tanpa balasan, itu sudah biasa. Kadang dia yang memulai percakapan
dengan segala curhatan masalahnya. Kadang aku meminta Solusi dari permasalahan
disini. Dan jawaban darinya entah kenapa selalu pas. Tak selalu memberi solusi,
tapi selalu hadir sebagai pelukan diam-diam.
Mungkin begitulah kami tidak pernah benar-benar jadi kekasih, tapi lebih
dari sekadar sahabat. Ada yang tidak perlu disebut namanya, tapi tetap terasa
eratnya.
Sesekali saat aku menginjakkan kaki kembali di Malang,
selalu ada detik-detik sunyi yang berharap bisa melihatnya lagi. Di alun-alun.
Di pojok warung ketan. Di asrama. Tapi tidak pernah kutemukan. Dan entah
kenapa, itu tidak membuatku kecewa. Karena aku tahu, kenangan itu bukan untuk
diulang. Cukup untuk disimpan.
Sampai hari ini, ketika aku menuliskan semua ini dalam
bentuk cerita, aku hanya ingin mengabadikannya. Bukan untuk membuka luka atau
menuntut apa-apa. Tapi sebagai pengingat bahwa aku pernah bertemu seseorang
sebaik itu.
Namanya tidak kusebut lengkap di sini, karena
kenanganku tidak butuh pengakuan. Tapi jika suatu hari cerita ini sampai
padanya, aku ingin dia tahu:
Kau tetap ada. Dalam bagian hidupku yang paling manis.
0 Komentar