"Sangkar Baja Sasana adalah cerpen pendek yang mengangkat dunia sasana tinju perempuan. Di tengah kota yang sibuk, Dista membuktikan bahwa perjuangan perempuan di ring tinju sama kuatnya dengan kisah hidup mereka."
![]() |
SANGKAR BAJA SASANA
Oleh : Garizah
Suatu sore yang cerah, Dista menerima seorang peserta
baru bernama Mita. Perempuan itu datang dengan pakaian kantoran rapi dan wajah
yang tampak gugup. "Selamat sore. Nama saya Mita," ucapnya sopan.
"Atasan saya mendaftarkan saya untuk latihan di sini."
Dista mengamati Mita dari atas hingga bawah.
Perawakannya kecil, dengan tubuh yang terlihat kurang fit. "Apa alasanmu
ingin belajar tinju?" tanya Dista dengan nada datar.
"Bukan keinginan saya, sebenarnya," jawab Mita sambil tersenyum
kaku. "Atasan saya bilang saya cerdas dan teliti, tapi tubuh saya ini
terlalu lemah. Beliau bilang saya harus kuat sebelum diberi tugas
penting."
Dista mendengus kecil, setengah mengejek. "Baiklah. Tapi jangan
harap ini akan mudah."
***
Latihan hari pertama adalah ujian fisik. Dista tidak
memberikan kelonggaran sedikit pun. Push-up, sit-up, hingga latihan pukulan
bertubi-tubi. Biasanya, peserta yang dipaksa seperti ini akan menyerah dalam
seminggu. Tapi Mita berbeda. Meskipun tubuhnya memar dan napasnya tersengal, ia
kembali keesokan harinya dengan semangat yang sama.
"Kau keras kepala juga, ya?" ledek Dista sambil memberikan
sarung tinju.
"Saya harus membuktikan pada diri saya sendiri," jawab Mita
dengan mata berbinar. "Jika saya bisa bertahan di sini, saya pasti bisa
menghadapi apapun."
Meskipun Dista enggan mengakuinya, ia mulai kagum pada tekad Mita.
***
Malam itu, setelah sesi latihan yang melelahkan, hanya
Dista dan Mita yang tinggal di sasana. Mita duduk di bangku panjang sambil
mengompres wajah dan lengannya yang memar. Dista, seperti biasa, sibuk
merapikan alat-alat latihan.
"Dista," panggil Mita dengan suara pelan.
Dista menoleh. "Apa lagi?" tanyanya tanpa minat.
"Boleh aku minta sesuatu?"
"Tergantung," jawab Dista singkat.
Mita menundukkan kepala sejenak sebelum berkata, "Bisakah kau tidak
memukul di erea wajahku saat latihan? Kalau ada memar di wajah, aku akan
kesulitan menjelaskan ke rekan kerja. Mereka tidak tahu aku latihan di
sini."
Dista mendengus, kali ini lebih keras. "Latihan ini bukan untuk
manja-manjaan. Kalau kau ingin jadi kuat, kau harus siap menerima pukulan di
mana saja."
Namun, ketika Mita tersenyum tipis dan berkata, "Baiklah. Tapi
terima kasih, Dista," ada sesuatu yang mengusik hati Dista. Entah kenapa,
ia terus memikirkan permintaan itu sepanjang malam.
***
Hari itu, Mita datang lebih awal dari biasanya. Ia
membawa bingkisan yang ia sembunyikan di suatu tempat yang menurutnya aman. Ia
menyimpan bingkisan itu dengan sangat hati-hati, seperti akan ada sesuatu yang
meledak jika bingkisan itu sampai terjatuh. Sepanjang latihan, Mita tidak fokus
dan berkali-kali mengecek kondisi bingkisan yang ia sembunyikan.
Setelah sesi berakhir dan mereka tinggal berdua, Mita
membuka bingkisan yang ia sembunyikan dan mengeluarkan sebuah kue kecil dengan
lilin berbentuk angka 33 diatasnya.
Suara langkahnya menggema di lantai sasana yang kosong. "Selamat
ulang tahun, Dista," ucapnya ceria.
Dista yang sedang memeriksa punching bag terkejut. "Dari mana kau
tahu?"
"Aku tidak sengaja melihatmu KTP kemaren," jawab Mita santai.
Ia menyalakan lilin dan mendorong kue itu ke arah Dista. "Ayo, tiup
lilinnya."
Dista menatap lilin itu beberapa detik sebelum akhirnya meniupnya. Untuk
pertama kalinya, ia merasa ada yang peduli padanya di luar tinju.
"Ayahku meninggal karena dikhianati rekan kerjanya," ujar Dista
pelan, memulai cerita yang selama ini ia pendam. "Sangkar Baja ini adalah
satu-satunya peninggalannya yang bisa kujaga."
Mita mendengarkan dengan penuh perhatian. "Aku yakin beliau bangga
padamu," ucapnya lembut sambil menikmati kue ulang tahun berdua.
***
Sejak hari itu, Dista perlahan berubah. Ia tidak lagi
memukul Mita di area wajah seperti permintaan Mita tempo hari, meskipun ia
harus menahan refleksnya. Mita yang merasakan hubungan mereka menjadi lebih
akrab mencoba mengajukan tawaran yang sangat menarik.
"Dista, aku butuh bantuanmu di perusahaan," kata Mita.
"Kami membutuhkan seseorang dengan keahlian beladiri sepertimu."
Tanpa berpikir panjang, dan curiga sedikitpun Dista setuju. Kini mereka
pun mulai bekerja sama.
***
Lima tahun berlalu, Dista dan Mita telah mencapai
banyak hal bersama. Sangkar Baja semakin maju, dan Dista merasa hidupnya lebih
bermakna. Suatu hari saat waktu istirahat makan siang, Dista bermaksud mengajak
Mita makan Bersama. Ia langsung memasuki ruang kerja Mita namun tidak menemukan
ujung rambut Mita di sana. Pandangan Dista tertabrak pada dokumen di meja Mita
yang berantakan. Ia memperhatikan dokumen itu secara seksama, sebuah silsilah
keluarga VIP di Perusahaannya saat ini. Dokumen silsilah itu mengungkapkan
fakta mengejutkan. Perusahaan tempatnya bekerja ternyata milik sahabat ayahnya.
Orang yang sama dengan yang mengkhianati ayahnya dahulu. Saat ini perusahaan
itu dipimpin oleh anak penghianat ayahnya.
Dista yang merasa nyaman dengan kehadiran Mita,
terlena dan masuk dalam lingkaran orang-orang yang seharusnya ia benci. Dista
merasa dadanya sesak. "Jadi, selama ini aku membantu dan bekerja pada orang
yang menghancurkan keluargaku?"
Mita terdiam di ambang pintu, memahami bahwa rahasianya
telah terbongkar karna kecerobohannya. Lima tahun yang lalu, ia mendapat misi
dari perusahaan untuk membawa Dista agar bergabung. Waktu itu, Mita sempat ragu
setelah mengetahui fakta masalalu ayahnya Dista. Namun, Mita memilih
melanjutkan misinya karena tergiur hadiah yang dijanjikan. Dan kini, setelah persahabatan
yang tulus terjalin, ia merasa sangat menyesal. "Aku tahu ini sulit
bagimu. Tapi aku percaya kau layak tahu kebenarannya. Aku benar-benar
menyesal."
Dista menatap Mita, matanya penuh emosi yang bercampur
aduk. Ia berjalan keluar tanpa sepatah kata, meninggalkan Mita yang masih
berdiri di sana.
***
Malam itu, Dista berdiri di depan Sangkar Baja,
menatap papan nama yang bergoyang pelan diterpa angin. Hatinya dipenuhi
kebimbangan. Apakah ia harus meninggalkan semua yang telah ia bangun bersama
Mita? Ataukah ia harus menghadapi masa lalu yang kembali menghantuinya?
Di kejauhan, Mita berdiri ragu di sisi jalan, menatap siluet Dista yang teguh di depan pintu sasana. Tak ada kata yang terucap, hanya keheningan yang menyelimuti mereka berdua.
END
0 Komentar