Cerpen ini mengisahkan perjalanan emosional seorang siswi SMA bernama Safira, yang bergulat dengan luka masa lalu, konflik keluarga, dan bayang-bayang sosok ibu yang tak pernah utuh. Dalam cerita berjudul "Harusnya Dia Ibuku", pembaca diajak menyelami dunia remaja yang kompleks—dipenuhi kebimbangan, kemarahan, hingga akhirnya menemukan kehangatan dari sosok yang tak terduga. Cerita ini sangat relevan bagi kamu yang sedang mencari cerpen remaja tentang keluarga, konflik batin, dan rindu yang tak sempat terucap.
HARUSNYA
DIA IBUKU
Oleh:
Garizah
Januari mulai menepi,
Februari mulai mengintip,
bersiap-siap untuk mengawal cerita baru.
Harusnya ia datang dengan
kabar gembira,
namun kebijakan yang sama juga
membungkam Februari.
Maunya, di bulan ini sudah
bisa belajar tatap muka,
sebagaimana janji kepsek bahwa
akan ada kebijakan baru di awal Februari.
Nyatanya, hingga angka satu mengiasi wallpaper HPku
diikuti angka dua dan dua ribu dua satu,
kebijakan baru itu tak kunjung diluncurkan.
Itu artinya, tak perlu dijelaskan lagi.
Kebijakan yang berlaku masih sama seperti Januari.
Masih tetap Daring.
Safira
El Yasirt Kelas XI-TKJ
Aku menghela nafas. Tugas bahasa
Indonesia kali ini membuat puisi dari berita yang didengar. “Sepertinya ini
sudah cukup”. Aku berbicara pada buku catatanku. Ada perasaan lega namun hampa,
mungkin karna sudah lama sekali aku tak bersua dengan teman-teman kelas. Ahh,
aku tak boleh membohongi diri sendiri. Bukan teman-teman kelas yang membuatku
merasa hampa, namun karna Bu Evi, guru bahasa Indonesiaku.
Sejak hari itu, aku semakin goyah
pada janjiku sendiri untuk selalu membenci Bu Evi. Bukan karna ia guru killer
atau semacamnya, ini tentang urusan pribadi yang harusnya tidak aku bawa ke
sekolah.
Semua berawal dari pengakuan
Ayah, bahwa dulu ia pernah menyukai Bu Evi. Namun, Ibuku yang tidak lain
sabahat karib Bu Evi, malah menaruh hati pada Ayah. Jadilah, Bu Evi menolak
Ayah sebelum sempat ia menyatakan cinta. Dan benar saja, Ayah dan Ibuku
menikah. Entah bagaimana ceritanya, mereka mulai bertengkar sejak aku duduk di
bangku kelas 6 SD. Tak lama dari itu, mereka memutuskan bercerai.
Hak asuhku jatuh ke tangan Ayah. Karena Ayah terlalu sibuk bekerja, aku yang baru puber bertumbuh kembang tanpa sentuhan hangat dari orang tua. Ingin rasanya melakukan hal-hal yang seperti anak nakal lakukan. Merokok, berkelahi, dan sering bolos sekolah. Semua demi kebebasan, bebas dari tekanan, bebas dari tuntutan.
Namun, aku berpikir sedikit
rasional. Mungkin itu adalah hal yang menyenangkan, namun itu akan mendatangkan
masalah baru dalam hidupku. Lagi pula, ada harga diri seorang Ayah yang ingin
aku jaga. Masa-masa sekolah menengah pertama adalah masa yang melelahkan. Bukan
lelah karna berlajar, tapi karna harus berulang kali pindah sekolah mengikuti
peralihan tugas dinas Ayah dari satu kota ke kota lain. Penasaran apa kerja
Ayah? Dokter, ayahku seorang dokter spesialis penyakit dalam.
“Baik, Ayah izinkan.” Ujar Ayah singkat.
“Tapi, Ayah yang pilihkan sekolahnya” Tambahnya.
Aku terkadung Bahagia saat itu, tanpa menaruh curiga sedikitpun. Namun, ungkapan Ayah ternyata menguak sebuah cerita masa lalu yang mengantarkanku pada posisi ini.
Bagaimana tidak, ternyata salah
satu guru yang cukup berpengaruh di sekolah ini adalah orang yang memicu awal
pertengkaran Ayah dan Ibu. Bu Evi namanya, teman karib ibu semasa sekolah, dan
sekarang berusaha menggoda Ayah.
Awalnya aku cuek, cinta lama tak
mungkin bersemi kembali. Lagi pula mereka sudah sama-sama dewasa dan memiliki anak.
Namun, semakin hari Bu Evi bertingkah laiknya seorang Ibu padaku. Ia seolah
sedang berusaha mencuri hatiku, agar merestui perasaannya pada Ayah. Aku yang
tak terbiasa dengan perhatian lebih, mulai merasa muak dan memutuskan untuk
membenci Bu Evi. Aku jarang ikut kelasnya, dan memperlakukan seolah ia tak
pernah ada. Aku benar-benar menunjukkan ketidak sukaanku padanya.
“Kamu ada masalah pribadi sama Bu Evi?” Tanyanya saat makan siang di Kantin.
Dini dan Amel ikut menapatku, seolah menuntut jawaban yang akan membunuh rasa
penasaran mereka.
“Kenapa emang?” Ucapku balik Tanya, sebisa mungkin aku akan mencoba mengalihkan
pembicaraan ini.
“Gak apa-apa. Cuman khawatir aja” Jawab Tiara membuat kesan misterius.
“Khawatir kenapa?” Tanyaku lagi yang balik penasaran.
“Yang aku dengar dari kakak tingkat, Bu Evi itu emang jarang marah ke siswa,
tapi sekalinya marah dia sampek gak meluluskan siswa” Jelas Tiara dengan penuh
tekanan.
“Masak iya, gak lulus gara-gara masalah
pribadi” Ungkapku meragukan Tiara.
“Berarti benar dong, kamu ada masalah pribadi sama Bu Evi?” Tiara berhasil
membuatku kikuk, ternyata ia menjebakku dengan carita yang belum tentu
kebenarannya.
“Dah, dah. Cepat habiskan makanannya, bentar lagi bel masuk loh” Aku
mengalihkan pembicaraan lagi.
Tiara berhasil memporak-poranda
emosiku. Aku benar-benar dibuat tak bisa berpikir rasional. Setiap kali muncul
mapel Bahasa Indonesia atau nama Bu Evi, seketika itu muncul sosok antagonis
yang berseragam safari warna coklat masuk kelas sambil memukul-mukul penggaris
ke telapak tangannya sendiri, sambil berkata “Savira El Yasirt, Kamu tidak akan
aku luluskan, Hua ha ha ha ha”. Seketika itu pula, muncul lelaki dengan wajah
menahan malu karna cibiran teman kerjanya. Wajah yang selama ini aku jaga harga
dirinya seketika menjadi sosok yang tidak terhormat.
Aku membuka mata yang telah basah oleh air mata. Biasanya setelah bangun tidur badanku menjadi fresh dan penuh semangat. Namun akhir-akhir ini berbeda, imajinasiku terbawa hingga ke alam mimpi, aku benar-benar kelelahan dengan kebencianku sendiri. Saat itu juga, aku memutuskan untuk mulai membuka hati, dan berhenti memupuk kebencian pada Bu Evi.
Aku mulai rajin mengikuti kelas Bu
Evi dan mengerjakan tugas-tugas daringnya. Sesekali aku bertanya tentang materi
mapel yang lebih banyak tidak aku pahami. Aku berusaha menciptakan kesan baik,
namun aku tetap tak bisa tenang, rasanya perubahan sikapku bak meneteskan air
putih ke satu gelas tinta hitam. Seolah usahaku tak akan merubah apa-apa, bagaimana
jika Bu Evi terlanjur sakit hati oleh sikapku tempo hari. Dan sering aku
berfikir, apakah aku restui saja Bu Evi dengan Ayah.
***
Suara dering HPku semakin
nyaring, aku yang baru keluar dari kamar mandi berlari gesit untuk mengangkat
telpon yang masuk. Nama Tiara terpajang di layar depan.
“Assalamualaikum, Iya Ra!” Sapaku memulai percakapan.
“Waalaikumsalam” Jawab seseorang di sebrang, namun bukan Tiara.
“Maaf, Siapa?” Tanyaku.
“Aku Raka, sepupunya Tiara, aku lagi minta nomermu, tapi Tiara bilang harus
izin dulu”
“Rakaaaaaaa?” Ucapku sambil mengingat-ngingat sesuatu.
“Raka kelas XII jurusan Multimedia” Jelasnya.
“Ohh, kalau boleh tau untuk apa ya kak?” Tanyaku sok polos.
“Pengen ngobrol-ngobro aja sih, boleh?”
“Boleh” Jawabku singkat karna sungkan. Sebetulnya, aku malas meladeni
orang-orang yang modusnya sudah terlihat jelas seperti ini. Namun, karna dia
bilang sepupu Tiara, aku jadi merasa gak enak.
Tak lama aku tutup telpon, muncul
pesan masuk dari nomer baru. Dugaanku benar, yang mengirim adalah Kak Raka. Ia
kembali memperkenalkan diri dan memintaku untuk menyimpan nomernya. Aku balas
pesan sekedarnya, menghidari kesan nyaman, dan tidak berharap lebih. Jika dia
peka, chatingan ini tak akan panjang.
Di tengah chatingan yang
membosankan. Tiara mengirim pesan suara.
“Assalamualaikum. Fir, Novel dan bajumu aku kembalikan yah. Bisa ketemu
dimana?” Ucapnya.
“Mainlah ke kostku entar malem, aku gabut jeng” Balasku dalam pesan suara juga.
“Sore ini aku mau balik jeng, gak bisa kalau ntar malam” Balas Tiara.
“Kok tiba-tiba?” Jawabku kaget.
“Iya, Ibuku Sakit Jeng. Aku titip barangmu ke Raka aja yah. Entar malam dia ke
kosanmu. Ucap Tiara, aku terdiam mencerna satu persatu kalimatnya. Namun, aku
tak mau membuat Tiara tertekan hanya karna perasaan kurang nyamanku.
“Okey.. Kamu hati-hati di jalan” Balasku dalam chat.
Aku bukan tidak kenal siapa Raka.
Namun, aku malas meladeni orang yang kurang serius belajar.
***
Kalau bukan karna Tiara, aku tak akan
keluar malam-malam begini untuk menemuinya.
“Hai, Akhirnya datang juga” Sambut Raka ketika aku menghampirinya.
“Lama ya? Maaf!” Ucapku.
“Gak apa-apa kok, yang penting kamunya gak ilang” Rayunya, alisku naik sebelah.
“Ini, titipan Tiara” Raka menyerahkan satu kantong plastik penuh.
“Kok Banyak?” Tanyaku.
“Iya, aku bawakan nasi kotak juga, karna dirumahku lagi ada Slametan. Dimakan
yah!” Jelas Raka.
“Oh. Iya makasih” Jawabku, kemudian berlalu.
Ada novel, baju, cemilan, dan nasi kotak. Aku tersenyum bersyukur dan menyantap rejeki yang tak bisa di tebak. Lumayan, bisa hemat jajan untuk hari ini.
***
“Assalamualaikum” Tulisku.
“Waalaikumsalam” Jawab Bu Evi.
“Bu, Saya izin tidak ikut pelajaran karena saya kurang enak badan” Izinku lewat
chat di Whatapp..
“Baik, saya izinkan. Sudah minum obat?” Tanya Bu Evi.
“Sudah Bu” Jawabku.
“Kalau dalam tiga hari belum membaik, saya antar periksa ke dokter” Ucap Bu Evi
perhatian.
“Tidak usah Bu, takut merepotkan” Tolakku.
“Sudah hubungi Ayahmu?” Tanya Bu Evi kepo.
“Sudah Bu” Jawabku berbohong. Aku tak mungkin ngasih tau Ayah kalau aku lagi
sakit. Karna tenaganya masih sangat dibutuhkan di rumah sakit.
***
Silau, garis cahaya
lurus yang sangat terang menabrak mata seolah menfonis diriku salah. Seketika
pijakan yang mengantarku ke alam kapuk, bergetar bak masuk dalam perahu. Akan
sangat wajar jika amarahku tersulut, karena sudah bukan sekali dua kali, lagi-lagi
aku terbangun oleh sorot lampu dari cahaya motor yang menembus jendela kamarku.
Belum lagi suara bising motor dengan knalpot yang bolong.
Jam berapa ini,
pikirku.
Kulirik layar ponsel
yang tergeletak di lantai. 03.27. Listrik mati sejak sore. Baterai menjerit di
angka 20%. Badanku dingin, tapi panas. Kepala seperti dipenuhi bel alarm yang
saling berlomba membunyikan kegelisahan. Aku menggigil. Sendirian.
Tidak ada
siapa-siapa.
Tidak ada yang bisa
dihubungi. Dan aku tidak berani menelepon Ayah. Entah karena marah, atau karena
aku terlalu takut suara tangis ini tumpah di hadapannya. Lalu semuanya gelap.
Seperti ada yang memutus aliran kesadaranku secara tiba-tiba.
***
Aku terbangun dengan
aroma sereh dan kayu putih menempel di pelipis. Sebuah suara lembut memanggil
namaku. Tangan seseorang sedang menggenggam jemariku yang terasa dingin.
Keningku disentuh, lalu suara itu lagi.
"Vira... kamu
sudah sadar, Nak?"
Aku mengedipkan mata
beberapa kali.
"Bu...
Sita?"
Perempuan itu
tersenyum. Tiba-tiba aku teringat senyum itu adalah senyum yang dulu sering
kulihat ketika beliau datang ke rumah waktu aku kecil. Saat Ibu dan ayah masih bersama.
Saat dunia belum sepelik ini.
"Iya, ini Bu Evi.
Ayahmu memintaku kesini dan memastikanmu baik-baik saja."
Mataku mengerjap
pelan. Antara kaget dan bingung. "Kok bisa... Ayah tahu?"
“Ibu yang memberi
tahu, awalnya hanya memastikan karna kamu bilang sudah mengabarinya, tapi
ternyata ayahmu kaget dan meminta bantuanku” Bu Evi menjelaskan sambil memegang
erat tanganku.
“Ibu tau dari mana
kosanku?” Tanyaku menyelidik.
“Raka, Tiara bilang
Raka tau kosanmu, jadi Ibu memintanya mengantar” Bu Evi menahan nafas seperti
sedang berfikir kalimat selanjutnya.
“Raka itu ponakan ibu”
Katanya tiba-tiba.
“Hah” Aku terlalu lemah untuk terkejut. Tapi, itu membuat semuanya jelas.
Aku membuka WhatsApp. Tidak ada pesan dari Ibu. Tidak ada panggilan tak terjawab. Tidak ada apa-apa.
Tanganku gemetar, mataku buram oleh air mata. Lalu, dengan jempol yang ragu, aku mengetik:
"Bu, aku sakit..."
Dan menekan kirim.
Tiga detik. Lima detik.
Centang satu.
Aku meletakkan ponsel di atas selimut. Mataku memejam.
"Ibu bahkan tidak tahu aku sedang sekarat disini," pikirku. "Atau mungkin memang tidak peduli..."
Lalu wajah Bu Evi muncul di benakku. Suara lembutnya, tangan hangatnya, cara Bu Evi mengecek suhu tubuhku dan semuanya sikap keibuannya.
"Andai yang mengandungku Bu Evi, mungkin aku tidak akan pernah merasa sepi begini..."
Aku menyeka air mataku yang sedikit lagi meluap. Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali ibu menanyakan kabarku.
Dan malam itu, dalam hati kecilku yang remuk, Aku menyimpan satu kalimat yang belum pernah berani aku ucapkan:
"Harusnya dia ibuku."
0 Komentar