Cerita tentang perjuangan guru menghadapi tekanan, ketidakadilan dalam sistem sekolah, dan hadirnya kesempatan kedua. Cocok dibaca oleh kamu yang menyukai cerita bertema pendidikan, keikhlasan, dan harapan.
OBAT TENANG ANDARA
Oleh: Garizah
Di tengah keramaian kota, berdiri sebuah sekolah swasta
yang megah, dikelola oleh sebuah perusahaan keluarga. Lima orang, rata-rata
berusia tiga puluh tahunan, menjadi pilar utama perusahaan itu. Salah satu dari
mereka, Andara Mutiara Kartika, memilih untuk menjalani kehidupan yang berbeda.
Meninggalkan kenyamanan kursi direktur, ia memilih berbaur ke sekolah itu
sebagai guru pembina UKS. Status aslinya hanya diketahui oleh segelintir orang.
Andara menyukai pekerjaannya. UKS menjadi ruang kecil
yang menenangkan baginya. Tempat di mana ia bisa mendengar cerita siswa dan
guru yang membutuhkan, tanpa harus menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.
Suatu hari, sekolah itu membuka lowongan guru baru.
Masda Nindita Pramesti, seorang perempuan berusia tiga puluh dua tahun,
diterima menjadi pengajar. Kehadirannya tidak terlalu mencolok. Mereka hanya
bertemu di ruang rapat, saling menyapa sebatas formalitas. Andara mengamati
dari jauh, tanpa niat mendekat.
Pada suatu siang, Masda tiba-tiba memasuki UKS.
Wajahnya lelah, matanya merah, dan suaranya bergetar saat meminta obat
penenang.
"Boleh saya minta obat penenang?" tanyanya pelan.
Andara yang sedang mencatat sesuatu di meja segera menoleh. Ia mengamati
Masda dengan seksama sebelum membuka laci kecil dan mengambil obat yang
diminta.
"Ini, sesuai dosisnya," katanya lembut sambil menyodorkan obat
tersebut. "Kalau boleh tahu, apa Anda baik-baik saja?" Masda hanya
tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih, lalu pergi. Hari itu, untuk pertama
kalinya mereka berbicara dari jarak dekat.
Dua hari kemudian, Masda datang lagi. Kali ini ia
tampak lebih tenang, tetapi tetap meminta obat penenang. Andara, yang sudah
menunggu momen ini, memutuskan untuk memancingnya berbicara.
"Sepertinya Anda sering merasa gelisah belakangan ini," ucap
Andara sambil menyiapkan obat. "Ada sesuatu yang ingin Anda
ceritakan?" Masda menghela napas panjang. Ia duduk di kursi dekat jendela,
menatap keluar dengan tatapan kosong. Setelah beberapa saat, ia mulai
berbicara.
"Saya ditunjuk menjadi wali kelas di kelas yang… luar biasa. Luar
biasa nakalnya," katanya sambil tertawa kecil yang terdengar pahit.
"Setiap hari, pasti ada satu siswa yang masuk ruang BK. Guru-guru lain
sepertinya sudah menyerah. Tapi saya tidak ingin menyerah. Saya ingin mereka
diberi kesempatan untuk berubah."
Andara mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali mengangguk.
"Tapi itu berat," lanjut Masda. "Mereka tidak mengerti
niat baik saya. Saya mencoba berbagai cara, tapi selalu saja gagal. Selain itu,
di kelas yang sama, ada siswa yang sangat ambisius dengan nilai. Saya harus
menemukan cara untuk merangkul semuanya, tapi itu membuat saya pusing."
Suaranya bergetar. Ada kelelahan yang sulit disembunyikan. Andara
tersenyum lembut. Ia tahu betul kelas yang dimaksud Masda. Sebagai pembina UKS,
ia sering mendengar keluhan guru dan siswa tentang kelas itu.
"Anda luar biasa, Bu Masda," ucap Andara akhirnya. "Tidak
semua guru mau berjuang seperti Anda. Apa yang Anda lakukan menunjukkan bahwa
Anda peduli, meskipun mungkin mereka belum bisa melihatnya."
Masda menatap Andara, agak terkejut mendengar kata-kata itu.
"Kadang," lanjut Andara, "perubahan memang butuh waktu.
Anda hanya perlu percaya pada prosesnya. Dan jika Anda butuh teman untuk
berbicara, pintu UKS ini selalu terbuka."
Hari itu, percakapan mereka berakhir dengan senyuman di wajah Masda.
Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian menghadapi tantangannya.
***
Hari demi hari, hubungan mereka semakin dekat. Masda
sering datang ke UKS, tidak hanya untuk meminta obat, tetapi juga untuk berbagi
cerita. Andara menjadi pendengar setianya, memberikan dukungan tanpa
menghakimi. Masda merasa sangat terbantu dengan kehadiran Andara.
Namun, kedekatan itu tidak berlangsung lama. Masda
tiba-tiba dipanggil oleh kepala sekolah dan dinyatakan dikeluarkan. Tuduhannya
berat, melindungi siswa yang melakukan bullying dan tidak mengindahkan aturan
sekolah. Masda yang mencoba menjelaskan tidak diberi kesempatan. Ia pergi
meninggalkan sekolah dengan hati yang remuk.
Andara yang mendengar kabar itu merasa terpukul. Ia
tahu tuduhan itu tidak benar. Namun, sebagai bagian dari keluarga pemilik
sekolah, ia memilih untuk tidak mengungkapkan kebenaran secara terang-terangan.
Ia hanya bisa berharap suatu hari dapat memperbaiki ketidakadilan ini.
***
Bulan berganti, kehidupan terus berjalan. Suatu hari,
Andara duduk di ruang wawancara perusahaan keluarganya. Ia memeriksa daftar
pelamar kerja hari itu. Matanya tertumbuk pada satu nama yang tidak asing,
Masda Nindita Pramesti.
Saat Masda memasuki ruangan, keduanya saling terdiam.
Masda tampak terkejut, tetapi segera menguasai diri.
"Selamat siang," sapa Masda sopan.
Andara tersenyum kecil. "Selamat siang, Bu Masda. Lama tidak
bertemu."
Hening sejenak. Masda hanya menatap Andara dengan campuran emosi.
"Jadi," lanjut Andara sambil menatap dalam-dalam, "apa
yang membuat Anda tertarik melamar di sini?"
Cerita mereka belum berakhir. Masda menatap Andara
dengan harapan baru di matanya, sementara Andara hanya bisa menyembunyikan
senyum kecil yang penuh arti. Mungkin, ini adalah kesempatan kedua yang
diberikan takdir.
0 Komentar