Persahabatan tidak selalu berawal dari rasa suka. Kadang, seperti yang dialami Nayla dan Aurel dalam cerpen Berteman Karena Harus, pertemanan justru tumbuh dari keadaan yang memaksa. Cerita ini mengajak pembaca menyelami dinamika hubungan yang canggung namun perlahan berubah menjadi ikatan hangat di sebuah kafe sederhana. Simak kisah lengkapnya di bawah ini!
BERTEMAN KARENA
HARUS
Oleh : Garizah
Goresan demi goresan terus aku sambungkan hingga membentuk
siluet wajah seseorang. Ku tambahkan sayap melengkung menutupi lutut seolah sosok
itu memeluk dirinya sendiri. Kali ini aku melukis seorang wanita bersayap lebar
bak malaikat yang sedang bimbang. Aku mengalihkan pandangan pada seseorang yang
baru membuka pintu kafe. Sosok yang aku kenal, dan keberadaanku disini memang
untuk menghabiskan waktu dengannya. Ia menarik kursi didepanku lalu duduk tanpa
berkata-kata, membiarkan waktu berdentang sendiri. Semenit, tiga menit, lima
menit kemudian dia akan tidur pulas hingga waktunya pulang.
Aku Nayla, selalu menghabiskan minggu sore di kafe ini bersama
Aurel. Dia… bisa dibillang teman, tapi kami tak sebaik itu. Aku mengenalnya
dari TK, dan kami ‘dipaksa’ dekat oleh mama-mama kami. Yah… mama kami
bersahabat, dan menurut mereka kami juga harus begitu. Aku bukannya pilih-pilih
teman tapi, kami terlalu berbeda. Hmmm.. pada intinya, kita gak cocok satu sama
lain.
Jam dinding di kafe itu menunjukkan pukul 16.58, aku
membereskan barang-barangku dan mengetuk tanganya, “Yuk” Kataku. Bak sudah
terprogram otomatis. Aurel bangun dengan setengah sadar, beberapa saat
kemudian, ia paham bahwa saat itu waktunya kami pulang. Begitu selalu. Dan
sesampainya dirumah, mamaku menyambut ceria karna mengira anaknya telah
mengabiskan pekan sorenya yang seru bersama anak sahabatnya.
***
"Aurel itu gimana sih, Nay? “Tanya mamah membuka
pembicaraan di meja makan. “Gimana apanya?” Tanyaku balik. “Ya…. Baik atau
gimana gitu, Nay” Jelasnya memberi contoh.
Aku bukannya tidak paham maunya mamah, tapi tiba-tiba terbesit ide untuk
sedikit ngerjain Aurel. “Mah…” aku menahan senyum iseng. “Kayaknya Aurel lagi
PDKT sama cowok, deh” Kataku ngasal. “Masak? Kok kamu tau?” Tanya mamah
antusias. Persis seperti dugaanku. “Tadi aku lihat ada chat cowok, di HPnya”
Kataku, kali ini aku gak ngasal, aku beneran lihat ada chat dari Kak Reza saat
di kafe. Dan aku tau betul siapa orang itu. “Kamu buka pesannya Aurel, Nay?”
Tanya ibu penasaran. “Ya gak lah, itukan privasi” jawabku, entah kenapa ada
raut kecewa di wajah mamah.
***
Hapeku berdering, terpampang nama Aurel dilayar depan.
Seketika aku membayangkan wajah kesalnya disebrang sana. Aku membiarkannya
semakin nyaring, hingga ia lelah dan berhenti sendiri. Pasti bukan sesuatu yang
penting juga. Aku tersenyum kecut “Paling dia abis kenak marah” kataku bergumam
sendiri.
Tak lama dari itu, pintu kamarku diketuk. Rupanya ada mama
dibaliknya. Wajahnya serius, seolah menuntut sebuah penjelasan dariku. “Ada apa
mah?” Tanyaku menyelidik, mama berjalan masuk kemudian mengambil posisi di tepi
ujung kasur. Aku mengekorinya, dan duduk di kursi belajar yang telah aku atur
posisinya agar kami berhadapan. “Nay, Mama bangga banget, punya kamu yang
selalu berprestasi, tapi bukan berarti kamu bisa meremehkan orang lain hanya
karna kamu merasa lebih bisa darinya, apalagi kepada guru dan bla..bla..bla..” Mama
menceramahiku tiba-tiba. Aku tau Aurel yang ada dibalik semua ini. Aku tahu dia
bakal membalasku, tapi aku tak menyangka akan secepat ini, dan seganas ini. Dia
melaporan kejadian hari itu. Sungguh menyebalkan.
“Mah, dengerin Nayla. Sungguh, Nayla gak sekurang ajar itu,
waktu itu Nayla terpancing karna bu Rifda membawa-bawa nama mama, dan Nayla
udah minta maaf kok. Kejadiannya udah lama juga” Jelasku. Berharap mama
menghentikan ceramahnya. Aku jadi menyesal mengusik Aurel, anak itu benar-benar
tidak pernah membiarkanku menang.
***
Pagi ini semangatku hanya sekitar 15%. Aku berjalan masuk ke
kelas dan menabrak matanya di ujung kelas. Kami saling menatap. Walau jarak
kursi kami berjauhan, tatapan tajamnya tetap lurus bak lampu sorot. Jika ini
anime, pasti sudah ada kilatan listrik di mata kami, saling tembak dari ujung ke
ujung, menentukan siapa yang lebih kuat.
Aku dan Aurel memang satu kelas. Aku memilih duduk di
barisan paling depan dan dekat pintu keluar. Sedangkan Aurel memilih tempat
duduk paling belakang di dekat jendela. Jika ditarik, posisi kami akan
membentuk garis tengah dari ujung kanan depan hingga ujung kiri belakang.
Aurel digertak teman ekskulnya, ia kaget dan reflek melempar
pandangannya dariku, kemudian ia menarik senyumnya. Tentu saja senyum itu bukan
untukku. Tapi untuk mereka, teman-teman ekskul volinya. Aku menarik nafas
panjang, pertarungan batin berlalu begitu saja. Aku duduk, dan mengeluarkan
buku mata pelajaran jam pertama.
***
Hingga jam terakhir selesai, aku dan Aurel masih saling
membuang muka. Tak terbesit sedikitpun niat untuk berbaikan. Namun, saat jam
pulang Aurel menghampiriku. “Mau kemana?” Tanyanya, mungkin maksudnya mau
berbasa-basi. “Ya pulanglah” Jawabku ketus. “Jangan dulu, aku ada pertemuan
ekskul. Satu jam aja” Katanya, tanpa penjelasan panjang kali lebar aku mengerti
maksudnya. “Makanya, bilang yang jujur
ke mamamu kalau mau ikut ekskul” responku kesal. Siapa yang tidak kesal, namaku
selalu jadi alasan setiap kali ada kegiatan ekskul seperti sekarang. “Lah,
sendirinya juga” balasnya sambil melengos.
Aku menungggu di bangku penonton lapangan voli sambil
membaca buku. Satu jamku yang berharga habis hanya untuk melihatnya hahahihi
dengan teman-teman ekskulnya. Sesekali aku perhatikan interaksinya dengan kak
Reza. Yang semakin menguatkan dugaanku. Mereka berdua memang sedang PDTK. Aku
tersenyum tipis membayangkan jika suatu saat mereka beneran jadian, mungkin aku
bisa bebas dari agenda pertemuan rutin tiap minggu sore di kafe.
Satu jam berakhir, aku melangkah pergi tanpa aba-aba.
Melihatku berlalu, Aurel juga mengambil ancang-ancang meninggalkan pertemuan
itu. Pernah suatu kali kami tidak pulang di jam yang sama, mama kami langsung
murka, menyelidik siapa diantara kami yang meleyong. Sejak kejadian itu, kami
terbiasa menyesuaikan waktu pulang masing-masing. Misal aku ada rapat OSIS,
Aurel akan menunggu hingga selesai. Begitupun sebaliknya. Masih tanya kok bisa
begini? Dari awal hidup kami memang aneh.
***
Tak terasa sudah minggu lagi, yang berarti aku akan bertemu
dengan Aurel di kafe itu. Kali ini aku sedikit tidak sabar, karna ada sesuatu
yang ingin aku tunjukkan. Semakin cepat, maka semakin baik. Aku ingin melihat
ekspresinya langsung. Tepat pukul 15.00 aku pamit pada mamah. Melihatku yang
antusias, mamah menjadi lebih antusias. Aku diberi uang jajan dan pelukan
kecil. “Selamat bersenang-senang” Ucap mamah sambil melambaikan tangan,
kemudian ia merogoh ponsel di sakunya. Aku bisa menebak dengan mudah, siapa
yang akan dihubunginya. Siapa lagi kalau bukan sabahatnya, si mamahnya Aurel. ‘Sebegitu
ingankah aku dekat dengan Aurel’ aku bergumam dalam hati.
***
Seperti biasa, aku tiba duluan,
aku pesan Cappuccino dan duduk di dekat jendela, tempat favoritku. Tak lama
Aurel juga datang, dia mengambil posisi dan siap berlayar ke alam mimpi. Aku
menunjukkan ponselku yang sudah terlebih dulu kubuka ruang chatku dengan
seseorang. “Itu nomernya kak Reza kan?” Tanyaku memastikan, walau sudah pasti.
Aurel meraih ponselku dan membaca isi chatnya.
Sejak hari rabu, kak Reza
mengirim pesan padaku, isinya…. Sepertinya kebanyakan laki-laki yang sedang
membuka hati pada siapa saja. Ramah, perhatian, dan sering menggoda. Aku
merespon ala kadarnya, karena memang aku kurang nyaman dengan hal-hal seperti
itu. Hingga pada sabtu kemaren pak Reza mengatakan sesuatu yang membuatku muak.
“Aku tau
kamu sering memperhatikanku diam-diam saat aku Latihan Voli. Namun, sepertinya
kamu ragu karna aku terlihat dekat dengan Aurel. Sungguh, dia bukan siapa-siapa
bagiku. Jadi, setelah ini jangan sembunyi lagi”
Begitu isi
chat nya. Aku difitnah didepan mataku, atau dia sendiri yang membuat kesimpulan
itu. Apapun itu, aku benar-benar tidak habis pikir, tingkat kepercayaan dirinya
setinggi monas. Tapi, bagian yang paling membuatku kesal adalah, dia tidak
menganggap Aurel. Ya Tuhan, aku tidak pernah sekesal ini. Aku berharap, Aurel
bisa bijak setelah membaca itu, untuk apa dia berusaha untuk orang yang tidak
menganggapnya apa-apa.
Aurel membaca perlahan, dan matanya mulai kehilangan fokus
seiring kalimat terakhir. Ia mengangkat lesung pipinya sebelah, kemudian
menggigit tipis bibirnya, matanya berkaca-kaca. Dia memandang langit-langit
untuk menyekat ari matanya. “Masak malu, kalau nangis disini” Ucapku datar. Dia
berdecik dan menggeleng-gelengkan kepala, menandakan dia belum percaya
sepenuhnya pada fakta yang ada. “Kamu suka sama kak Reza?” Tanyanya tiba-tiba.
Aku mengerutkan alis, gak percaya dia akan menanyakan sesuatu yang sudah jelas.
“Menurutmu?” Aku mengembalikan pernyataannya untuk dia pikirkan sendiri.
Padahal sudah jelas, satu-satunya alasanku menonton voli dan segala kegiatannya
itu karna dia.
“Apa ini juga akan kamu laporkan ke mamamu?” Tanyanya kemudian.
Aku menahan senyum mengingat apa yang terjadi minggu lalu. “Kamu kenak marah
yah?” Tanyaku penasaran. Dia melirikku tajam, kemudian Kembali melihat
ponselnya. “Menyebelin tau gak?” Ungkapnya. “Okey maaf, tapi kita impas kok.
Aku juga diceramahi mamah hingga 2 jam” Aku bercerita sambil kesal. Dia tertawa
pelan. “Makanya, jangan macam-macam” Ancamnya.
Setidaknya pembahasan itu membuyarkan rasa sedih dihatinya. Pikirku.
Waktu berjalan cepat, kali ini Aurel tidak tidur. Dia sibuk
dengan ponselnya, dan sesekali menggangguku. Bertanya apa yang aku gambar, ikut
menggambar walau lebih mirip coretan anak TK, dan menghabiskan Cappuccino
kesukaanku. Anehnya, aku sama sekali tidak merasa kesal, seolah memang seperti
itulah yang seharusnya terjadi. Saat tiba waktu pulang, ia mengekoriku, berkata
mau menginap dirumahku. Aku yang setengah percaya membiarkannya dengan segala
tingkahnya.
***
Aurel beneran menginap. Jangan ditanya ekspresi mamaku. Baik
mamaku dan mamanya Aurel, mereka terlihat sangat bahagia mendengar kabar ini.
Sedangkan aku mencoba menerka-nerka, sebenarnya apa yang sedang Aurel pikirkan.
Ini bukan pertama kalinya dia menginap. Tapi ini pertama kali dia menginap atas
keinginannya sendiri. Apa karena dia sedang sedih? Atau ahh… sudahlah, terserah
apapun itu.
“Pinjam HP mu” Kata Aurel, “Untuk?” Tanyaku menyelidik. “Mau
ngerjain kak Reza” Katanya singkat. Aku memberikan ponselku dengan senang hati,
aku benar-benar tidak masalah jika namaku dibawa-bawa dalam masalahnya. Bukan
karena sudah terbiasa, tapi aku merasa memang seperti itu yang seharusnya.
Aku fokus di meja belajar kesayanganku, sesekali aku melirik
ke Aurel yang sedang rebahan dikasurku. Aurel terlihat mengubah-ngubah
ekspresinya saat bertukar pesan dengan kak Reza menggunakan ponselku, kadang
ekspresi geli, kadang ekspresi malu, kadang tertawa, kadang juga ekspresi marah. Aku membiarkannya
asik sendiri.
Saat tiba waktu tidur, Aurel meraih sebuah foto yang
terpajang di dekat lampu tidur. Foto dua anak kecil yang berpose di depan
sekolah. Itu adalah fotoku dan Aurel waktu masih TK. Setelah puas melihatnya,
ia meletakkan Kembali foto itu dan menarik selimut. “Kamu gak punya teman lain
selain aku ya, Nay” Tanyanya tiba-tiba. “Aslinya banyak, cuman….” Aku berhenti,
Aurel menatapku dan menunggu. “Cuman apa?” Tanyanya penasaran. “Mamah maunya
cuma sama kamu” Jawabku ringan. Aurel mencerna kalimatku dan menganggukkan
kepalanya paham.
Aku dan Aurel sudah bersama sejak masih bayi. saat TK adalah
masa akrab-akbarnya kami. Tapi kemudian, Aurel pindah keluar kota mengikuti perpindahan
ayahnya. Setelah 9 tahun, Kami bertemu lagi di sekolah yang sama. Mamah kami
yang tak pernah selesai dengan nostalgia persahabatannya mengharuskan kami
menjadi dekat juga. Aku tidak keberatan, tapi Aurel?. Hingga kini, aku tak
pernah bertanya, dan lebih memilih untuk
tidak berharap apa-apa darinya.
Aurel sudah terlelap dalam dunia mimpi, aku menatapnya yang
tanpa ekspresi. Walau sudah sering melihat Aurel tidur, baru kali ini wajahnya
terlihat tenang dan damai. Aku memeriksa ponselku, penasaran apa yang sudah dia
lakukan. Aku membaca chatnya dengan kak Reza yang ahhh…. bukan aku banget. Seketika
aku berpikir “besok aku harus bagaimana jika ketemu kak Reza?”. Aku meringis
sendirian. Selain berbalas pesan dengan kak Reza, dia juga mengambil gambar
dirinya menggunakan ponselku. Katanya sekedar ngetes kamera. Tapi hasilnya ada
ratusan. “Galeryku bisa penuh sama fotonya nih” Gumamku dalam hati. Selain itu,
dia juga diam-diam menfotoku dari bekalang saat aku fokus belajar. Dan satu
lagi, dia juga membuat status whatsapp dan mereview isi kamarku. Hmmm…
***
Hari ini, aku pergi ke sekolah bersama Aurel, melihat mamah
yang tak berhenti tersenyum membuat hatiku juga ikut senang. Kami jalan
berdampingan menuju kelas. Dia sesekali menoleh ke arahku seperti ingin bicara.
“Emmm…” Dia memelankan langkahnya. Aku mengimbanginya. “Nanti kalau kak Reza
ngomong sesuatu, jangan diladenin ya Nay” Pintanya. Aku datar, seolah tidak tau
apa-apa, tapi juga tidak mengiyakan pintanya. “Kenapa?” Tanyaku. Dia menelan
ludah “Jangan diladeni pokoknya?” Ia mengulang pintanya.
***
Jam istirahat dimulai, seperti biasa aku menuju
perpustakaan, dan Aurel pergi ke kantin Bersama teman-teman kelas. Di perpus,
kak Reza menghampiriku dan duduk disebelahku. “Nay, boleh bicara sebentar?” Kak
Reza berbisik. Aku menunjuk larangan mengobrol di perpustakaan yang nempel di
dinding perpus. “Bentar aja” Bisiknya lagi. Aku risih dan penasaran, apa yang
mau ia bahas. Akhirnya aku meletakkan buku dan keluar dari perpus. Kak Reza
mengekoriku. Ketika di luar perpus dia menarik tanganku hingga langkahku
terhenti. “Maksud chat kamu tadi malam apa?” Tanyanya mencari jawaban. “Yang
mana?” Tanyaku memastikan. “Jangan ngasih harapan palsu ke Aurel, itu maksudnya
apa?” Kak Reza menuntut penjelasan. “Emang kurang jelas ya kak?” Jawabku
spontan. “Emang kapan aku ngasih harapan ke Aurel, dianya aja yang deket-deket
terus” Tegasnya. Aku tersulut, dia benar-benar tidak menganggap Aurel. Aku reflek
dan menamparnya. Plakk… tepat di pipi kirinya. Kak Reza terdiam tak percaya.
Aku pergi berlalu tak ingin terlibat lebih jauh lagi. Kak Reza memanggil namakuku
namun kemudian ia menyerah. Rupanya Aurel melihat semuanya. Aku tak menghiraukan
dan pergi melewatinya.
***
Aurel mengikutiku ke toilet, saat di toilet dia melipat
kedua tangannya di dada dan menghentikan langkahku. “Kenapa kamu meladeninya?”
Tanyanya kecewa. Aku benar-benar baru ingat pinta Aurel tadi pagi. “Maaf, aku
lupa” Jawabku ringan. “Kamu merusak rencanaku, Nay” Katanya lagi. Kali ini aku
bingung dan kesal. Aku tidak diberitahu rencananya namun, namaku dilibatkan. “Bisa
gak sih, ngomong baik-baik dari awal? Aku mana tau rencanamu, Rel” Ungkapku
kesal. “Kamu tinggal ngabaikan kak Reza seperti yang kubilang, susah yah?” Dengan
nada tinggi Aurel gak mau kalah. “Bukan gitu, situasinya….” Aku berhenti, sadar
bahwa pembicaraan kita tidak akan menemukan titik temu. “Ahh… Sudahlah, emang
kamu itu selalu mau menang sendirikan, Nay” Aurel meninggalkanku. Aku
bergeming, ada bulir-bulir kecil mengembun di mataku. Aku mencoba menahannya
dengan berkedik sebanyak mungkin. Aku menghela nafas berat. Rasanya setiap senin
hariku jadi berat.
***
Aku membeli dua minuman kotak farovite kami. Aku berencana
akan meminta maaf padanya sebelum bel tanda habis waktu istirahat berbunyi. Aku
masuk kelas, dan menemukan Aurel di mejanya. Dia sedang tidur, posisi tubuhnya
sama dengan saat berada di kafe. Aku menghampirinya pelan, namun ragu. “Okey,
aku tinggal simpan minuman ini di mejanya, setelah itu langsung pergi” Ucapku
dalam hati. Namun, kurang selangkah lagi, teman-teman ekskulnya datang. Aku langsung
berbalik dan kembali ke mejaku.
“Di kelas ini ada yang Namanya Nayla?” Tanya salah satu
teman ekskul Aurel. Namanya Kak Shila, kalau tidak salah dia sekelas dengan Kak
Reza. Aku gemeteran, ternyata begini rasanya dilabrak. Aurel yang mendengar itu
langsung bagun, dia menatapku. Ahh… bukan, dia menatap dua minuman kotak yang
ada di mejaku. “Aku Nayla kak, ada apa yah?” Tanyaku santai. Lebih ke pasrah
sih.. “Jadi kamu yang kurang ajar ke Reza? Sok cantik banget sih” Hatiku
meringis lagi, tapi kali ini tidak sendiri. Aurel bangkit dan membelaku “Kak, bisa
gak jangan ikut campur urusan lain?” Ucap Aurel. Setelah itu mereka terlibat
adu mulut. Bukan cuma Aurel, tapi semua teman kelas juga berada di pihakku. Ibaratnya
mereka datang bertamu ke rumah orang, bukannya bersikap baik, malah kurang ajar
sama salah satu pemilik rumah. Tentu penghuni yang lain merasa terganggu dan tidak
terima, mereka bersatu untuk mengusir pengganggu itu dari rumahnya. Aku
berkaca-kaca terharu. Aku tak menyangka mereka akan sepeduli itu padaku. Untuk pertama
kalinya, aku merasa tidak sendiri.
Setelah cekcok agak lama, akhirnya mereka berhenti karna langkah
guru yang akan masuk ke kelas. Suasana kelas tenang seketika. Aurel yang masih
berdiri di mejaku langsung menyambar satu minuman kotak yang memang jatahnya. Aku
tersenyum, dan menganggap bahwa dia telah maafkanku. Ketua kelas dan teman disebelahku
juga memberiku semangat. “Nay, jangan mau di intimidasi” ketua kelas memberi
nasihat. “Iya Nay, mereka harus dilawan biar gak seenaknya” Fani, teman yang
duduk dibelakangku menyambung. Sedangkan Aurel sedang asik menikmati minumannya
sambil menandang ke luar jendela. Sadar aku melihatnya, Aurel menoleh. Aku langsung
salah tingkah dan membenarkan posisi dudukku. Walau tak melihatnya langsung,
aku tau Aurel pasti tertawa mengejekku.
***
Hari minggu, pukul 15.05, Sekarang adalah jadwal pertemuanku
dengan Aurel di Kafe. Namun, aku belum juga berangkat. Aku masih sibuk memilih
buku pesanan Aurel “Padahal bisa ke sini dan ambil sendiri, kenapa malah minta
dibawakan sih” Gerutuku sendiri. Setelah mendapat buku yang cocok, aku buru-buru
pamit ke mamah. Aurel sudah menunggu di kafe. Dia juga sudah memesan cappuccino
dua gelas.
“Maaf, lama” kataku sambil menyerahkan satu buku fiksi yang
menurutku cocok untuk dibaca Aurel. “Waah.. Novel, Baguskah ceritanya?”
Tanyanya. “Yakin, mau spoiler?” aku balik bertanya. “Aneh, tinggal bilang bagus
atau tidak, bukan malah spoiler”. Aku baru terpikir, iya juga yah…
Entah kenapa, saat dia bertanya, aku malah membanyangkan
akan serunya bicara panjang lebar dengannya. Dan benar saja, sore itu kami
membicarkan banyak hal, sesekali juga membahas Pelajaran, dan sesekali juga berbagi
cerita lucu. Tak ada permintaan maaf, tak ada penjelasan. Tapi entah kenapa,
aku merasa, mungkin untuk pertama kalinya, aku dan Aurel benar-benar berteman. Bukan
lagi karena harus. Tapi karena sama-sama memilih.
Apakah seperti ini yang mamah inginkan selama ini? Tidak buruk.
Ahh.. bukan, ini tidak buruk sama sekali.
END
1 Komentar
Buat versi sudat pandang Aurel dong
BalasHapus